“Dalam hidup ini, banyak hal nyata yang tidak terlihat. Hantu, arwah penasaran? Mungkin, tapi bukan itu yang ingin kuceritakan dalam tulisan ini, melainkan hal bernama trauma. Sebuah luka yang tergores dalam batin, yang kadang bersembunyi dalam sunyinya batin. Kepedihan yang tidak bisa terlihat mata, bahkan tak terasa di kulit, namun perihnya menusuk merasuk jiwa.”
***
“Tidak! Kumohon, jangan!”
Proyeksi memutar kisah seorang gadis malang kembali terulang dalam batin. Nafas Solana mulai sesak, rasanya sebanyak apapun udara segar yang masuk dalam hidung, tak akan cukup untuk membuatnya merasa lega.
“Luna, jangan! Jangan tinggalkan aku! Kumohon!”
Tanpa terasa, jemari perempuan itu mulai memanjat, memegangi dadanya yang mulai terasa sesak. Air matanya mengalir deras, tidak ada lagi kata-kata yang sanggup keluar dari bibir mungilnya, kecuali sebuah permintaan sederhana dari dalam hati. Permohonan tulus, agar kakak satu-satunya yang sangat ia cintai tidak pergi meninggalkannya.
“L-Luna, jangan pergi! Luna sudah janji, Luna ga akan tinggalkan aku sendiri,” pintanya dengan lembut. Tidak ada yang tersisa dari perempuan muda itu, bahkan suaranya pun tidak lebih besar dari cicitan tikus. Habis semua yang ada padanya. Baik suara, tenaga, bahkan harga diri, semuanya lenyap tak bersisa.
“Luna, kumohon Luna. LUNA!”
Mata Solana terbuka, ia terbangun dari mimpi buruknya. Keringatnya bercucuran deras, nafasnya tak beraturan, perempuan itu sungguh menyedihkan. Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri. Perlahan kepalanya mulai menggeleng ke kiri ke kanan, bibirnya tersenyum, seolah tidak menyangka jika kejadian menyedihkan bertahun-tahun yang lalu dapat kembali dalam rupa mimpi buruk.
“Lupakan Solana, untuk apa diingat! Kejadian itu sudah lewat, basi, dan tidak ada artinya lagi,” bisik perempuan malang itu pada diri sendiri. Nasihat bijak yang terpatri dalam kepala. Jalan penyelesaian paling cepat untuk mengatasi trauma yang tak kunjung lenyap.
Solana segera turun dari tempat tidurnya, kakinya bergerak cepat membawanya keluar dari kamar. Gelap, tanpa kehadiran kakak dan keponakannya, rumah ini terlihat lebih sepi dari kuburan. Setidaknya di dalam sini tidak ada jangkrik yang mengerik berisik sampai pagi.
Diambilnya susu coklat yang ada di dalam kulkas, lalu dituangkannya ke dalam panci kecil. Dihangatkannya susu tersebut di atas kompor, ditunggunya sesaat, lalu dimatikannya api sesaat sebelum mendidih.
Solana tahu, minum susu tengah malam tidak baik untuk kesehatan, tapi saat ini dia perlu sesuatu untuk menenangkan diri. Menurut ajaran ayahnya, minum susu hangat di malam hari dapat membuat tidur menjadi lebih nyenyak. Tidak tahu jika itu hanya mitos belaka, namun setidaknya selama ini cara itu cukup efektif untuk meredakan pikirannya yang sering lari kemana-mana.
Direbahkannya tubuh lelahnya di sofa, lalu diseruputnya cairan manis dalam gelas. Rasanya cukup nyaman saat susu hangat mengalir masuk dalam perut. Membuat pikirannya tenang, hingga ….
“Solana tidak punya ibu! Solana tidak punya ibu!”
Sial, apa lagi ini?
Solana segera memegangi kepalanya. Kenapa? Mengapa justru di malam yang sunyi ini, suara riuh dalam pikiran malah semakin berisik? Lupakan, Solana! Ya lupakan! Untuk apa kembali pada ingatan menyedihkan di masa lalu?
“Hahaha, Solana tidak punya ibu! Bee … Solana, mana ibumu? Tidak ada! Hahaha ….!”
Kumohon, berhentilah!
Tanpa sadar tangan Solana mulai mengepal, menahan puluhan suara yang hanya berbisik dalam kepala. Diketuk dahinya berulang kali, berharap sedikit guncangan dapat membuat suara-suara itu menghilang.
Satu kali, dua kali, hingga puluhan kali. Semakin lama pukulannya semakin keras, hingga menjadi tak terkendali.
“Wo, ho, ho, ho, hentikan!” sahut suara yang tiba-tiba datang menyela. Sebuah genggaman hangat melingkar di lengan Solana, menariknya perlahan, mencegah perempuan malang itu untuk menyakiti dirinya sendiri.
“Tenang, ayo tenanglah, Solana. Tarik nafas dalam-dalam, tenangkan dirimu!” kata Laluna sambil menggenggam erat tangan adiknya. “Semuanya akan baik-baik saja. Suara itu akan hilang, jika kamu sanggup menguasai diri. Lagi Solana, tarik nafas dalam-dalam, lalu buang.”
Solana melakukan perintah kakaknya dengan baik. Benar katanya, tidak perlu waktu lama suara-suara itu mulai menghilang.
“Sudah lebih baik?”