“Kutatap layar kosong itu, lalu kuisi pelan-pelan. Selama ini aku belum pernah mendengar cerita tentang penulis yang mampu menyelesaikan sebuah novel kurang dari 2 minggu. Agak mustahil memang, namun aku akan berusaha. Semua sudah menunggu karya teranyar ‘Sunny Ya’, dan aku tidak boleh mengecewakan mereka. Tidak peduli badai dan hujan harus menerjang, ataupun kemampuanku lenyap, izinkan aku untuk tetap berusaha. Demi pembaca setia, apapun akan kulakukan.”
***
“Hmmm,” gumam Solana lesu saat menatap handphonenya pagi ini. Sebuah pesan singkat yang bahkan tidak berisi kata-kata, melainkan hanya stiker kartun imut bergambar kepalan tangan hingga ke otot lengan, bertuliskan ‘semangat lanjutkan perjuangan’.
Tidak ada yang salah dengan pesan tersebut. Kepalan tangannya bahkan bergerak-gerak imut ke kiri ke kanan, dengan otot bisep yang semakin lama terlihat semakin besar. Stiker yang ditujukan untuk memberinya semangat ekstra dalam menyelesaikan karyanya. Sayangnya, karena pesan itu dikirimkan oleh Mbak Cindy Editor, maka otak Solana membacanya sebagai sebuah ancaman.
Ckckck, bagaimana jika ia tidak berhasil menyelesaikan karyanya dalam 2 minggu? Mungkin bukan hanya sekedar gambar, melainkan otot Mbak Cindy sesungguhnya yang akan menanti. Semoga saja kepalan tangannya tidak berubah menjadi bogeman yang akan melayang menghajarnya. Sial, mana gambar ototnya besar pula.
“Tidaaakkk!”
Solana menggoyangkan kepalanya, memaksa agar khayalan aneh itu pergi secepat mungkin.
Tidak, tidak, tidak! Amit-amit, jangan sampai mimpi buruknya menjadi kenyataan.
Perempuan itu segera memperbaiki kacamatanya, lalu kembali menatap layar laptop di depan. Tangannya aktif menekan remote speaker, memutar musik kesukaan, menarik nafas panjang, lalu memusatkan pikirannya. Bersiap, berkonsentrasi penuh menyelesaikan tulisannya. Yak, Mulai! Jarinya terus menari mengisi lembar demi lembar kosong. Menulis cerita yang hanya ada dalam pikiran.
Satu lembar, dua lembar, hingga berlembar-lembar. Satu jam, dua jam, hingga jalannya waktu mulai tak terasa lagi. Tidak tahu cerita ini akan jadi seperti apa. Tak peduli apa karakter-karakternya akan berakhir bahagia atau malah sebaliknya, karena menurut saran dari teman-teman sesama penulis, salah satu cara mengatasi ‘writer’s block’ adalah dengan metode ‘tulis dulu saja’.
“Aduh,” rintihnya setelah berjam-jam menatap layar komputer. Digerak-gerakkan tangannya ke segala arah. Kehendak boleh tinggi, namun terkadang fisik sulit diajak kompromi. Solana segera berdiri, merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Mulai dari tangan, punggung, pinggang, bahkan kakinya, semuanya terasa pegal dan nyeri.
Mungkin, sudah saatnya untuk beristirahat sejenak. Perempuan itu berjalan ke dapur, membuat secangkir teh hangat dengan madu dan sedikit perasan jeruk nipis. Berharap jika minuman itu dapat membuat pikiran dan tubuhnya kembali segar.
“Yah, lumayan,” bisiknya menyemangati diri sendiri. Motivasi sederhana untuk menghibur diri. Solana tahu pekerjaannya masih menggunung, tapi setidaknya progresnya lumayan. Hasil di hari pertama memang nihil, namun setelah 3 hari tinggal di rumah tercinta, setidaknya sekarang sudah ada 3 bab terisi.
Bukan hal yang bisa dibanggakan, tidak perlu juga bikin pengumuman besar di jalanan karena kemajuannya mulai ketara. Hanya menumbuhkan setitik rasa syukur, karena setidaknya ada sesuatu yang bisa ditulis pada lembaran kosong.
Sudah hampir setahun penulis kesayangan semua wanita ini buntu ide. Jangan tanya sudah berapa banyak cara yang dilakukan Solana untuk mengatasi masalahnya. Mulai dari pergi berlibur, olahraga, makan sehat, perbanyak tidur, meditasi yoga, dan semuanya kandas, gagal total. Untung saja, usaha terakhirnya membuahkan hasil.
Solana menarik nafas panjang. Tidak ada rasa yang lebih melegakan daripada apa yang dia rasakan saat ini. Luar biasa. Sesuai dugaan, rumah ini, tempat kenangan masa kecilnya sungguh membawa keajaiban.
“Ckckck, apa ceritanya harus begini? Norak ga sih?” sahut Laluna yang tanpa sepengetahuan adiknya, sudah berdiri di depan laptop dan mengintip pekerjaannya.
“Hei!” ucap Solana tak terima. Perempuan itu segera beranjak dari dapur, berlari ke meja makan untuk menutup layar laptopnya. Menyembunyikan apa yang baru ia tulis, pada siapapun juga yang ingin membacanya.
Penulis introvert mana yang merasa nyaman ika tulisannya dibaca orang? Apalagi keluarga sendiri. Malu ga sih? Mana komentar Laluna menyebalkan pula. Tidak bisakah kakak tercinta memuji pekerjaannya? Sedikit saja? Apa saja? Apa dia tidak bangga punya adik yang sukses dalam karirnya? Tapi … ah, sepertinya bukan Laluna bila mengeluarkan kata-kata manis.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Kok sudah pulang? Ga kerja?” tanya Solana pada kakaknya.
Laluna tidak menjawab pertanyaan adiknya dengan kata-kata. Wanita itu hanya menatap Solana dengan tatapan tajam, seolah tidak percaya akan mendengar pertanyaan bodoh semacam itu.