“Oh, sial! Aaarrrgght …! Apa yang harus kulakukan! Duh,duh, bagaimana ini? Siapapun juga, kumohon … tolong!”
***
Solana terdiam.
Dalam beberapa saat, perempuan malang itu hanya mampu berdiri, diam mematung. Mulutnya terbuka, menganga sejalan dengan pikirannya yang tiba-tiba kosong. Matanya terbuka lebar, pandangannya tak bisa lepas dari bocah kecil yang ada di hadapan.
Untuk pertama kalinya, ia punya kesempatan untuk memperhatikan anak itu dengan lebih seksama. Mulai dari kakinya yang mungil, tubuhnya yang imut, hingga wajahnya yang menggemaskan. Harus diakui, ada bagian dari akal sadarnya yang menyetujui, jika dalam sudut pandang tertentu, anak itu terlihat mirip dengan Laluna, bahkan dirinya. Fakta tak terelakkan yang menunjukkan bila mereka sungguh punya hubungan darah.
Selaras seperti Solana, demikian pula dengan lelaki kecil itu. Matanya yang bundar berbinar juga memandangi wanita di hadapannya lekat-lekat. Aneh rasanya. Kemarin, dia hanya sebatas orang asing yang berdiri depan rumah, lalu Mamanya memperkenalkan sebagai ‘tante’, dan sekarang mereka tinggal bersama dalam satu rumah. Usia anak itu memang belum genap 5 tahun, tapi otaknya sudah cukup paham betapa canggungnya situasi ini. Darah boleh sama-sama kental, tapi tanpa pernah ada interaksi, rasanya … benar-benar … asing.
“Ehm, baiklah. Um, Nak, eh, m-maksudku S-Sky ….”
Belum lengkap satu kalimat, baru bicara sepatah dua patah saja, namun tenggorokan Solana sudah kering kerontang. Kemampuan komunikasinya memang bukan yang terbaik, tapi performanya kali ini benar-benar parah.
Hampir saja, dia menjambak, menarik rambutnya sendiri karena frustasi. Sial benar! Semua ini terjadi karena mulut! Andai saja Solana tidak pernah menawarkan bantuan, maka hal seperti ini tidak akan terjadi. Lagipula, apa yang ada dipikirannya saat menyanggupi permintaan Laluna untuk menjaga anaknya? Bukankah ia masih punya banyak lembaran kosong untuk ditulis? Kenapa tiba-tiba jadi harus babysitting balita?
“S-Sky a-apa kamu n-ngantuk? M-Mau tidur?” lanjut Solana gugup.
“Please katakan ‘iya’. Kumohon Tuhan, buat anak itu mengantuk dan cepat tidur,” pinta Solana dalam hati.
Untuknya memang lebih mudah jika anak itu segera tidur. Jika ponakannya terlelap, Solana bisa kembali menghabiskan waktu untuk tulisannya. Sayangnya kehidupan tidak selalu mudah untuk penulis kebanggan kita ini. Coba, lihatlah ekspresi wajah anak itu! Dari ekspresinya saja, Solana sudah tahu jika anak itu menolak tawarannya mentah-mentah.
“U-Um, ga, ga bobo,” bisik anak itu penuh keyakinan.
Habislah Solana. Raut wajah ponakannya mulai terlihat serius. Dahinya mengerut dan mulai meneteskan keringat, matanya terlihat gelisah. Payah, sepertinya perempuan itu sudah cocok mendapat gelar Tante terpayah abad ini.
“G-ga? Sky beneran ga mau bobo? Ini sudah jam 8 loh?” tanya Solana mencoba meyakinkan anak itu sekali lagi.
“Hmmm,” jawab anak itu mengangguk. “P-Pupup. Mo Pupup.”
Dan … hal berikutnya yang terjadi adalah ketidakstabilan semesta. Chaos total! Solana panik seperti orang gila. Ia menggendong anak itu, lalu beranjak sesegera mungkin ke kamar mandi. Dibukanya celana anak kecil itu, dan segera didudukannya di atas kloset.
Oh, sial!