Tak Ada Karya di Musim Kering

Bebekz Hijau
Chapter #10

Bab 10. Peristiwa yang Tak Akan Bisa Dilupakan

“Aku tidak mungkin melupakannya. Tatapan mata, wajah, rambutnya yang warna warni, hingga perangainya yang urakan, bahkan semua yang dia lakukannya pada Luna dan juga ayahku. Aku tahu, dia adalah sebuah masalah sejak pertama kali aku menatapnya. Sayangnya, lain penilaianku, lain juga Luna. Bagi kakakku bajingan itu adalah seorang penyelamat. Pangeran berkuda putih yang mampu menyelamatkannya dari naga pengekang kehidupan. Sayangnya, untuk masalah firasat, aku pemenangnya. Pada akhirnya, Luna harus mengakui jika aku benar. Pangerannya hanyalah seorang bajingan pengecut, sayang setelah ia menyadarinya, semua sudah sangat terlambat.”

***

“Hi, Pap!” 

Mungkin banyak orang menganggap Solana sudah gila. Sudah lebih dari 15 menit, perempuan itu berdiri mematung sambil memandangi foto ayahnya. Diambilnya foto itu dari atas meja, lalu diajaknya bicara. Persis, persis orang gila, Solana pun tahu, namun ia tetap melakukannya juga. Perempuan itu tak kuasa menahan rasa rindu pada ayahnya yang sudah tak ada di dunia ini lagi.

“Aku … tidak tahu apa yang harus kulakukan. Seumur hidupku, aku hanya punya Papa dan Luna, dan … Papa sudah pergi untuk selamanya. Aku ingat pesan terakhir Papa, aku paham jika Papa ingin kami saling jaga. Aku menjaga Luna, demikian pula sebaliknya. Namun … aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan. L-Luna … hanya dialah satu-satunya keluarga yang kupunya, namun … bukan berarti dia tidak pernah meninggalkan luka. A-apa Papa masih ingat? Bukan aku yang meninggalkannya terlebih dulu, L-Lunalah yang melakukannya. B-Bukankah Papa juga sangat terluka? Kurasa kita berdua tidak akan pernah lupa, bagaimana rasanya saat Luna pergi dari rumah, meninggalkan kita, dan kabur bersama bajingan itu.”

Bukan ingatan yang menyenangkan memang. Hal paling pedih yang bahkan hinggap dan berubah menjadi trauma mengerikan. Masih segar dalam ingatan Solana, wajah dan tatapan mata kakaknya yang pergi di malam itu.

Di bawah cahaya rembulan, mata mereka saling bertatapan. Tanpa sengaja, Solana mendapati Laluna memanjat jendela depan kamar dengan sebuah tas berukuran besar di bahunya. 

“L-Luna … Luna mau ke mana? Ini sudah malam, Luna mau pergi? Luna mau ke mana?”        

Pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya saat menyaksikan pemandangan tak lazim itu. Ya, Solana masih ingat setiap kejadian di malam itu. Alih-alih menjawab pertanyaannya, Laluna hanya tersenyum sinis dan meletakkan telunjuknya di bibir. Sebuah perintah agar adiknya tidak mengeluarkan suara. Sebuah tanda, jika ia tidak ingin mendengar apapun yang keluar dari mulut Solana.

“Tidak! Kumohon, jangan!” mohonnya sekali lagi.

Jangankan untuk mendengarkan adiknya, Laluna malah menyiratkan luka yang lebih dalam lagi di hati Solana. Senyuman super sinis yang keluar dari mulutnya hari itu, tidak akan pernah bisa dilupakan Solana. Apalagi kata-kata yang keluar setelah itu.

“Huss, berhenti menangis, dasar cengeng! Kalau sampai Papa bangun, aku tidak akan pernah mengampunimu!”  

Solana menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ya, ya, mimpi buruknya memang selalu bermula dari peristiwa itu. Saat kakak yang selalu jadi panutannya, memutuskan untuk pergi dari kehidupannya.

Sampai hari ini pun, Solana masih bertanya, apa salahnya? Apa pula kesalahan yang telah diperbuat ayahnya hingga Luna memutuskan untuk pergi dari rumah? Apa ia memperlakukan Luna seperti seseorang berpenyakit kusta? Apa ia membuat kakaknya merasa tak nyaman? Kenapa? Kenapa? Selama beberapa hari, bahkan berapa tahun, pertanyaan itu tidak bisa lepas dari dalam benak Solana.

Bukankah dia sudah meminta? Bukankah dia sudah memohon? Bukankah Luna pernah berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkannya? Tapi … kenapa? Kenapa malam itu Luna pergi? Kenapa?

“Kenapa?” bisik Solana pada foto ayahnya. Air matanya bercucuran, cukup deras. Dalam seketika, makhluk super kuat, pemberani nan mandiri berubah jadi cengeng. 

“Kenapa, kenapa, oh, kenapa?” bisiknya lagi pada foto itu, berharap sebuah jawaban yang tak akan pernah didengarnya.

“Pah, apa yang tidak bisa kita berikan pada Luna, hingga dia memilih pergi dengan bajingan itu? Kesalahan apa yang telah kita perbuat, hingga Luna meninggalkan kita? Kenapa?”

Lihat selengkapnya