“Aku pergi bukan karena kuat. Tapi karena aku hampir mati jika tetap tinggal.”
Aku tiba di rumah nenek di tengah gerimis yang menggantung. Tas ransel hitam pudar tersampir di bahu, sementara langkahku terasa seperti diseret oleh tanah. Tiga jam perjalanan dari kota tak menghapus sesak yang sudah berhari-hari mengendap di dada... Selama perjalanan, pikiranku melayang pada pertanyaan yang terus terngiang: apakah aku terlalu lemah karena memilih pergi?
“Nduk...”
Nenek menyambutku dengan peluk hangat, yang entah mengapa membuat air mata langsung tumpah. Pelukannya bukan pelarian ia adalah izin untuk merasa hancur. Dadaku sesak, tapi di pelukannya, kesesakan itu terasa lebih jujur.