Tak Kunjung Penantian

muhamad Rifki
Chapter #2

Bab 1—Kampung yang Menyimpan Cerita Kelam

Kampung yang Menyimpan Cerita Kelam

Kampung Damai Asri. Kampung yang sangat sederhana. Berada di kawasan pulau Jawa. Para warga kampung pergi untuk berkebun, bertani, ataupun mencari ikan di laut dan kerja kasar lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka termasuk Bisma yang sangat gemar sekali berkebun membantu perkebunan ayah dan ibunya. Bisa dibilang keluarga Bisma adalah keluarga yang terpandang dan dihormati oleh warga kampung. Dulu Kakeknya Bisma, adalah salah satu pejuang kampung Damai Asri yang namanya masih harum sampai sekarang. Jaksa Atmaja. Nama itu turun-temurun dipakai oleh keturunannya. Hadi Atmaja, Ayah Bisma yang juga dipercaya menjadi kepala desa Kampung Damai Asri. Dan kini nama itu sudah turun sampai ke cucunya, yaitu Bisma Atmaja, anak laki-laki yang kini berumur 25 tahun. Memiliki tekad tangguh dan sangat gemar sekali mencari kayu bakar untuk kebutuhan keluarganya termasuk kebutuhan untuk memasak. Tubuhnya tinggi, putih, dan rambutnya yang gondrong sebahu. Bisma dan kedua orang tuanya baru saja pindah satu tahun lalu karena memang kontrak kerja kedua orang tuanya di kota yang sudah habis. Ibunya Bisma, Ayu Lestari. Merupakan seseorang pegawai kantoran yang kebetulan satu perusahaan dengan Pak Hadi, ayahnya Bisma. Timbul rasa cinta satu sama lain sampai pada akhirnya mereka menikah dan dianugerahi anak yang bernama Bisma Atmaja.

Saat senja muncul dari permukaan menyinari tanah merah dan sebagian rumah-rumah kampung saat itu, Bisma pergi untuk menjalani aktivitas sehari-harinya yaitu mencari kayu bakar. Ia berjalan di atas tanah merah terus menuju ke arah hutan. Sampai suatu ketika ia sampai di batas antara perkampungan dan hutan—semacam gapura untuk menandai batas hutan. Kemudian Bisma terus memasuki hutan untuk mencari kayu bakar. Satu per satu kayu bakar Bisma dapatkan dan waktu tak terasa sudah memasuki gelap. Bisma yang saat itu membawa obor langsung menyalakannya dengan minyak tanah di dalam plastik yang ia bawa di saku celananya. Ia membuat api menggunakan barang seadanya di hutan itu—ranting dan batu ia gunakan. Setelah cukup lama ia mencoba akhirnya percikan batu yang ia buat kini sudah menyala. Kini pencahayaan tidak hanya dari rembulan yang menjadi sumber satu-satunya pencahayaan, kini sudah ada obor yang dipegang pada tangan kanan Bisma.

Karena ia rasa memang sudah cukup mencari kayu bakar itu, ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya saat itu juga. Saat ingin melanjutkan perjalanan untuk pulang, ia mendengar suara daun yang diinjak persis di belakangnya. Sontak Bisma langsung menengoknya. Ia tidak begitu jelas melihatnya, yang terlihat adalah sepasang mata yang menyala yang sedang mematung tidak jauh di hadapan Bisma. Sosoknya seperti manusia, hanya saja Bisma tidak bisa melihat wajahnya karena memang sosok itu berdiri dalam kegelapan. Sosok itu perlahan mulai mendekati dirinya. Bisma yang melihat itu siaga—mengeluarkan golok yang sudah ia pegang di saku kirinya. Tiba-tiba terdengar suara riuh dari atas pohon. Saat Bisma lihat, ternyata itu adalah suara kera yang sedang melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Ia lega karena itu bukan ancaman tambahan yang mengancam nyawanya. Namun saat ia kembali menghadap sosok itu, sosok itu sudah hilang begitu saja. Bisma melihat ke sekelilingnya—waspada jika sosok itu telah berpindah tempat. Karena Bisma rasa aman, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya untuk pulang. Saat itu ia rasa mungkin itu adalah sosok pemburu yang sedang menunggu jebakannya disantap oleh hewan hutan.

Setengah jalan ia sudah lalui, tetapi saat itu Bisma ingin sekali untuk beristirahat sejenak karena sudah lelah sekali ditambah beban kayu bakar yang ia bawa di pundaknya. Ia taruh obor yang sedari tadi ia bawa, ia tancapkan obor itu di tanah dekatnya. Kemudian Bisma duduk pada salah satu pohon yang cukup besar. Napasnya tak karuan karena lelah sekali. Ia bersandar cukup lama di bawah pohon sambil melihat ilalang rumput dan tanaman yang bergoyang tertiup angin. Tak lama dari itu, Bisma mendengar suara kaki yang menginjak daun lagi—Bisma tak asing dengan suara itu. Suara perlahan mendekat. Langkah demi langkah pasti—menuju ke arah Bisma. Dan tiba-tiba suara seseorang pria muncul dengan membungkam mulut Bisma. Pria itu mematikan obor yang tadi telah Bisma tancap di tanah.

"Diam! Jangan sedikit pun kau membuat gerakan ataupun suara jika kau masih ingin hidup di dunia ini." Pria itu membawa masuk Bisma ke dalam semak-semak.

Namun, Bisma tidak tahu siapa yang telah membungkam mulutnya. Ia tidak menyangka akan secepat itu—langkah kakinya terdengar pelan. Mereka berdua terdiam sejenak sampai akhirnya pria itu melepaskan bungkaman tangannya dan ia kembali berkata.

"Kau lihat di arah barat itu? Kawanmu kan?" Pria itu mengarahkan jari telunjuknya ke arah barat.

Bisma menoleh ke arah barat, ia menatap dengan seksama siapa yang ditunjuk oleh pria ini. Wujudnya sama seperti sosok yang ia lihat pada kegelapan tadi.

Lihat selengkapnya