Sungai Juga Menjadi Saksi
Setengah jam berlalu, namun Sempa tak kunjung datang. Arda mulai suntuk ditambah suasana kampung yang semakin ramai. Arda mulai berbisik kepada pria berbadan besar yang ada di sampingnya.
"Kau susul Sempa, sekarang! Aku tak ingin hal memalukan terjadi di kampung ini," bisik Arda sambil membentaknya.
Pria berbadan besar itu tak menjawab sepatah katapun. Hanya anggukan kepalanya dan kakinya yang mulai berjalan menyusul Sempa.
Sudah setengah jalan dilaluinya, Sempa terlihat dari kejauhan. Namum kondisinya jauh berbeda. Pakaiannya sudah kotor dengan tanah merah. Pipinya terlihat ada goresan yang darahnya membekas di bajunya. Melihat kondisi Sempa seperti itu, pria itu langsung berlari menghampirinya.
"Sempa! Tunggu di sana." Pria itu berteriak dan berlari kencang. "Kau tidak apa-apa?"
Sempa menatap sejenak wajah yang meneriaki dan menghampirinya.
"Aku tidak apa-apa, Gandi. Mengapa kau menghampiriku?"
"Tuan Arda yang menyuruhku untuk pergi mencarimu." Pria yang ternyata bernama Gandi itu menjawab.
"Anak itu? dia yang membuatmu seperti ini?" Kini Gandi yang balas bertanya—Sempa menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Aku tidak bisa mengimbanginya. Aku sempat melihat pergerakan terakhirnya saat memasuki hutan. Saat aku memasuki hutan itu, macan dahan menyerangku dari semak-semak yang ada di tepi jalan setapak beralas tanah merah itu."
"Loh, kenapa ia menyerangmu? Memangnya kau sedang di dahan?"
"BODOH! Itu hanya namanya saja. Ia bisa saja menyerang dimana pun dan kapan pun ia mau."
Sempa kesal dengan pemikiran Gandi yang konyol itu.
Gandi menggaruk kepala yang tidak gatal sembari tertawa tipis kepada Sempa—ia melotot ke arah Gandi karena tingkahnya. Akhirnya mereka pergi untuk menghampiri Arda. Setelah hampir sampai dengan keberadaan Arda di sana. Arda melihatnya dari kejauhan dan memberikan kode untuk mempercepat jalannya. Arda mencoba mengalihkan para warga agar tidak melihat kondisi Sempa.
"Terima kasih saudara semua yang sudah menawarkan dirinya untuk bekerja pada perusahaanku. Tenang saja. Orang tua, anak, dan saudara kalian akan aman bersamaku. Aku akan kesini lagi lain waktu dan memberikan kabar gembira untuk kalian." Arda mengucapkan perkataan terakhirnya sebelum ia meninggalkan Kampung Damai Asri.
Berkat pengalihan Arda itu, Gandi dan Sempa berhasil lolos dari kerumunan warga tanpa ketahuan. Namun Sempa menginstruksikan Gandi untuk pergi ke mobil terakhir untuk menukar posisi. Sempat ingin keluar sepatah kata dari mulut Gandi namun langsung ditepis begitu saja oleh Sempa. Mereka pun langsung memasuki mobil terakhir yang di dalamnya terdapat warga kampung yang ingin bekerja juga. Anto, Raden, Yudi, Galuh, Wawan. Mereka duduk di kursi tengah dan belakang sedangkan Gandi duduk di kursi kemudi dan Sempa di sebelah nya. Orang tua Cinta dan Dewi berada di mobil kedua sedangkan Cinta dan Dewi berada di mobil pertama bersama Arda. Keempat mobil itu pergi meninggalkan Kampung Damai Asri.
Mobil beriringan menuju bandara untuk segera pergi ke Amsterdam. Sampai suatu ketika keempat mobil itu melewati satu jembatan apung yang di bawahnya adalah sungai yang menyambungkan ke arah laut yang sering digunakan para nelayan kampung untuk mencari ikan. Karena sungai dan laut itu masih termasuk ke dalam kawasan kampung Damai Asri. Namun, mobil kedua tiba-tiba melipir ke samping jembatan itu. Mobil keempat pun memperlambat laju mobilnya. Sedangkan mobil pertama dan ketiga maju begitu saja—tidak memperdulikan apa pun yang sedang terjadi di sekitarnya. Tanpa mereka sadar, Sempa sebelum masuk ke dalam mobil terakhir, ia sempat membuka penutup tangki bahan bakar mobil dan membuangnya. Karena jalan kampung yang tidak rata, membuat bahan bakar mobil terbuang perlahan dan membasahi area lubang bahan bakarnya. Gandi yang mengemudi itu merasa ada yang ganjil dengan jarum yang menandakan kepenuhan bahan bakar mobil yang turun drastis begitu saja. Jelas Gandi memperlambat kecepatan mobil untuk menepi sejenak dan mengecek apakah ada kebocoran bahan bakar atau kerusakan lainnya yang menyebabkan bahan bakar cepat habis.