Selamat datang di Kota Amsterdam
Pesawat Boeing-737 menjadi kendaraan bagi mereka untuk pergi terbang menuju ke Amsterdam. Tak ada waktu lagi untuk menunda perjalanan. Mereka harus segera tiba hari itu juga. Barang-barang bawaan diletakkan pada overhead bin—adalah penyimpanan barang yang biasanya terletak pada bagian atas kursi penumpang pesawat yang digunakan untuk menyimpan bagasi tangan atau barang-barang bawaan pribadi penumpang. Karena memang barang bawaan yang mereka bawa tak begitu banyak jadi bisa dapat di taruh pada overhead bin. Dan juga pada pesawat itu, tak ada penumpang lain selain mereka. Bagaimana bisa? Ya tentu, Gandi lah seorang yang bisa melakukannya. Setiap hari ia bisa berkeliling dunia menggunakan pesawat milik ayahnya, namun ia tak ingin melakukannya. Untuk apa keliling dunia jika hanya seorang diri saja. Ia hanya melakukannya jika bersama-sama.
"Kami baru ini pertama kali menduduki kursi pesawat." Wawan mewakili rekannya yang belum pernah menaiki pesawat. "Apa rasanya mengalami turbulensi? Aku sangat takut mendengar kata itu."
"Rasanya seperti kakimu bertukar posisi dengan kepalamu." Gusto mencoba menakutinya.
Wawan menelan air liurnya, wajahnya memucat. Matanya melebar mendengar ucapan buruk dari Gusto. "Apa itu hal paling mengerikan saat menaiki pesawat?"
Gandi yang mendengar itu, hanya senyum kecil tanpa unjuk gigi. Membiarkan karangan dari Gusto kepada Wawan dan rekannya. Suara pilot sudah mulai terdengar dari speaker untuk memberitahukan bahwa dalam beberapa menit lagi pesawat akan lepas landas. Mereka langsung menggunakan sabuk pengaman yang terletak pada masing-masing kursi penumpang. Oh ya, karena ini pesawat milik ayahnya Gandi, jadi mereka menduduki kursi bisnis kelas—kelas yang memberikan kenyaman di atas kelas ekonomi. Dan karena memang tak ada pramugari dalam pesawat itu, jadi mereka harus mengambil makanan sendiri.
Pesawat lepas landas dari bandara. Sedikit guncangan trubulensi terasa oleh seluruh penumpang pesawat. Namun, itu bukan suatu hal yang sangat mengerikan bagi Wawan dan yang rekannya. Sepertinya Gusto terlalu berlebihan tentang penjelasan trubulensi itu. Di depan mereka kini terdapat layar hiburan yang bernama In-Flight Entertainment (IFE). Layar itu digunakan oleh mereka berbeda-beda. Sempa, Gandi, Bisma dan Wawan menggunakan layar itu untuk menonton film yang berbeda sepanjang perjalanan. Sedangkan, Jaka, Anto, Raden, Yudi, dan Galuh mendengarkan musik sesuai dengan genre favoritnya masing-masing. Berbeda dengan Gusto. Ia hanya melihat peta perjalanan pesawat itu di udara menuju kota Amsterdam. Perjalanan itu akan menghabiskan waktu sekitar 17 jam. Sungguh itu sangat membosankan. Walaupun hanya duduk saja, itu sangat melelahkan untuk Gusto. Karena memang ia sadar di umurnya ini yang sudah tak muda lagi—berbeda dengan mereka yang sangat menikmati perjalanannya. Tak ada obrolan yang begitu penting di dalam pesawat, mereka sangat fokus dengan layar hitam yang ada di hadapannya, tampaknya tak tertarik dengan layar yang lain selain miliknya sendiri.
17 jam bukan waktu yang singkat, namun waktu itu dapat mereka rasakan saat pesawat sudah mendarat di kota Amsterdam. Namun itulah perjalanan, seseorang bisa saja hanya menghabiskan waktu penuhnya hanya bersama jalanan yang sisinya dihiasi oleh berbagai lampu jalan , lautan yang isinya penuh oleh ribuan jenis biota laut , ataupun langit yang diselimuti oleh awan di sekeliling mereka. Pesawat pun akhirnya mendarat dengan sangat perfect tanpa ada kendala yang membuat pesawat menjadi delay. Mereka semua turun dari pesawat kecuali pilot dan co pilot pesawat itu. Namun sebelum pesawat itu kembali terbang, Gandi memberitahukan sesuatu kepada kedua pilot itu.
"Sebaiknya kalian mendarat di negara eropa saja." Gandi berkata sebelum menuruni pesawat itu. "Aku khawatir nyawa kalian juga menjadi terancam karena kami."