Tak Kunjung Penantian

muhamad Rifki
Chapter #19

Bab 18—Penyergapan di Dalam Gerbong Kereta Menuju Middleburg

Penyergapan di Dalam Gerbong Kereta Menuju Middleburg 

Kereta menuju Middleburg berhenti tepat di hadapan mereka. Tampak dari kaca jernih kereta itu, mereka dapat melihat padatnya hampir sebagian gerbong kereta. Saat mereka memasuki kereta, sekeliling mereka tak peduli dengan satu sama lainnya—tak ada kebisingan. Mereka mencari tempat duduk namun tak kunjung mendapatinya. Mereka berjalan terus menelusuri gerbong demi gerbong kereta. Sampai akhirnya mereka mendapatkan kursi yang kosong pada gerbong kedua terakhir kereta. Tak ada satu pun orang di gerbong itu. Namun anehnya, pada gerbong terakhir mereka tak dapat melihat ada apa di dalamnya—gelap gulita, tanpa ada setitik cahaya yang menerangi gerbongnya. Mereka pun mulai duduk. Dan tak lama dari itu, kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun Rotterdam. 

Suasana kini berbeda. Entah mengapa kereta itu terasa berbeda dengan kereta sebelumnya. Penumpang di kereta ini sangat tak peduli dengan sesuatu yang ada di sekitarnya. Entahlah, mungkin mereka sedang sibuk dengan diri sendiri. Mungkin mereka sedang membuat rencana untuk esok hari. Liburan, pekerjaan, pendidikan, atau bahkan aktivitas hariannya. 

"Sepertinya orang-orang di sini sangat ambisius sekali tanpa mengenal waktu." Bisma kembali membuka obrolan dengan Gandi.

Gandi dengan senang hati meladeninya. "Ya bisa dibilang begitu, Bisma. Ya seperti kau tahu, sisi tergelap suatu negara, masih saja ada segelintir orang yang sudah dilahap oleh kegelapan dunia. Mereka yang merasa gagal akan putus asa. Ujungnya? Sudah pasti mati sia-sia. Hal seperti itu akan terus mengundang orang yang memiliki perasaan yang sama."

"Terkadang musuh terbesar seseorang adalah pikirannya sendiri. Bisma mengangkat telunjuknya dan mengarahkan ke kepalanya. "Banyak dari mereka yang tak dapat mengendalikannya bahkan pikirannya itu sendiri yang akan memperbudak seseorang."

"Sepertinya orang sepertimu tak akan merasakan seperti itu ya?" Spontan Gandi bertanya itu kepada Bisma.

"Jujur untuk saat ini aku belum pernah merasakannya. Aku selalu lapang dalam menerima semua masalah yang sedang atau pun bahkan akan menimpaku nanti."

"Bagaimana kau bisa lapang? Memangnya kau tahu masalah apa yang akan diberikan nanti?"

"Aku bukan ahli tarot. Jika kau menanyakan seperti itu, dengan mudah aku menjawab seekor ikan di lautan akan tetap bisa berenang di tengah ombak besar yang menimpanya."

"Namun, jika ada nelayan yang menangkap ikan itu?"

"Itu sudah takdir. Sesuatu yang ada diciptakan untuk kembali dalam bentuk apa pun. Entah ikan itu mati di makan oleh ikan yang lebih besar atau pun mati karena ditangkap oleh manusia."

Gandi mengangguk paham. "Aku pernah membaca koran majalah dahulu tentang keluarga Atmaja. Jaksa Atmaja adalah orang yang mahir dalam segala hal bidang."

"Oh ya? Aku juga awalnya tak percaya jika namanya bisa dikenal secara global."

"Bahkan perusahaan besar sampai mafia ku dengar banyak ingin merekrutnya untuk bergabung. Tapi ia lebih memilih hidup sederhana dan berdekatan dengan orang yang dicintainya."

Bisma mengangguk—membenarkan perkataan dari Gandi. "Ya sayangnya aku belum pernah melihat kehebatannya secara langsung. Tentang keilmuan dan kekuatan fisiknya, aku hanya bisa mendengarkan dan merasakannya saja tanpa melihatnya secara langsung."

Tak terasa kereta sudah pada setengah perjalanan menuju Middleburg. Namun kejadian tak terduga menimpa mereka dalam keadaan tak siap.

Zzpp! Zzpp! Zzpp!

Lihat selengkapnya