Kain Hitam Milik Penyewa Rumah
"Cepat katakan apa yang ingin kau bicarakan, Gandi." Gusto menyuruhnya untuk cepat mengatakan hal penting itu.
Gandi mengangguk cepat—ia akan menjelaskan hal penting itu. "Apa kalian tahu siapa orang terakhir turun dari mobil tadi?"
Semua mengangguk, tahu jawaban akan pertanyaan yang diberikan oleh Gandi.
"Sebelum aku turun dari mobil itu, aku sempat meminta nomor teleponnya dan kunci rumah ini. Sebelum ia mengeluarkan handphone dan kunci yang berada di saku, barang-barang lainnya yang berada di dalam saku juga ikut keluar dan sempat terjatuh ke bawah. Aku melihat ekspresi yang berbeda dengannya setelah kejadian itu. Dan ia sangat sigap untuk mengambil kembali barang-barangnya untuk ia masukkan kembali dalam saku celananya."
"Mungkin itu barang pribadi miliknya yang tak ingin orang lain tahu." Jaka mengeluarkan pendapatnya.
Sebagian megangguk setuju terhadap argumen yang dikeluarkan oleh Jaka—itu masuk akal.
"Tapi kalian akan kaget jika tahu apa barang yang aku lihat di hadapan kedua bola mataku sendiri." Gandi membuat semua orang penasaran tentang barang itu. "Barang itu adalah kain yang sama saat aku menemui saat aku tadi menelusuri tempat di bandara."
"Kain hitam! Ya kita hanya menemui barang itu tadi." Anto berteriak, semua orang terkejut—sejenak menatap Anto.
"Nilai 100 untukmu. Aku bisa menjamin kebenaran itu. Aku pastikan tak salah melihat barang itu." Gandi semakin meyakinkan semua orang.
"Apa orang itu akan kembali lagi ke sini?" Bisma bertanya spontan.
"Kemungkinan tiga hari lagi akan kembali ke sini." Gandi membentuk tangannya menjadi angka tiga. "Ia akan mengecek beberapa tempat di sini, seperti toilet yang terkadang bermasalah dan atap dapur bocor belum sempat diperbaiki."
"Bagus. Ini kesempatan untuk kita memastikannya."
"Rencana apa yang ada di kepalamu, Bisma?"
"Jika kau menjelaskannya, mungkin pembicaraan bisa sampai pagi hari. Sedangkan, wajah murung Gusto sudah tak terbendung lagi." Sempa memberikan kode untuk menyelesaikan obrolannya.
Gusto kembali mentap tajam Sempa—semua rasa kekesalannya hanya bisa ia pendam dalam diam karena rasa sakit dan lelahnya.
Sebagian tersenyum kecil termasuk Bisma dan Gandi yang mendengarkannya.
"Baiklah, aku pun juga ingin segera istirahat. Kita bicarakan lagi esok hari saat matahari terbit nanti sekaligus aku ingin lihat alat yang telah di rancang oleh Wawan dan rekannya." Semua sudah bersiap-siap untuk pergi ke kamarnya masing-masing.
Kamar rumah itu terbagi menjadi dua, dua kamar yang berada di lantai pertama dan tiga kamar lainnya yang berada di lantai kedua. Kamar pertama dengan nomor 13 di isi oleh Bisma dan Jaka. Kamar kedua dengan nomor 23 di isi oleh Gusto dan Wawan. Kamar ketiga yang berada di lantai dua dengan nomor 26 di isi oleh Sempa dan Gandi. Kamar ke empat dengan nomor 34 di isi oleh Raden dan Galuh. Dan nomor terakhir dengan nomor 12 di isi oleh Anto dan Yudi.
***
Mentari pagi menyinari jendela rumah dua lantai—memberikan kehangatan kepada penghuni rumah. Satu per satu dari mereka mulai terbangun. Mereka menyibukkan dirinya kepada kebiasan pagi mereka masing-masing. Duduk melamun di sofa, membuat susu hangat, bergegas sarapan, atau pun membaca berita terkini. Namun setelah mereka menyelesaikan kesibukannya, mereka teringat akan satu hal, yaitu perkataan ucapan Bisma tadi malam. Tanpa ingin memakan waktu, mereka akhirnya mengumpul di ruang tengah lantai bawah.