Pesta Para Pecundang
Seminggu penantian kini sudah datang kepada mereka. Ajang yang penuh dengan amarah bagi sebagian orang yang memiliki dendam di masa lalu yang belum terbalaskan. Pesta itu akan dimulai pada malam hari yang akan menjadi pesta yang sangat meriah dan hari yang spesial bagi Arda. Mereka sudah sangat persiapan matang untuk datang mengacak-ngacak pesta yang megah dan meriah itu.
Malam itu sangat terang benderang. Hilal dapat terlihat dengan jelas yang dikelilingi oleh bintang-bintang. Mobil yang dipinjam dari James juga sudah menyala—hanya menunggu waktu berangkat saja. Waktu yang mereka akan tempuh kurang lebih adalah sekitar 3-4 jam perjalanan. Tak ada satu pun dari mereka yang membawa senjata tajam. Mereka hanya membawa tangan kosong sebagai senjata utama mereka dan alat Shutdown dan Human Tracker sebagai alat pembantu mereka dalam beberapa situasi genting nantinya yang akan mereka hadapi dalam beberapa saat ini. Mereka berpenampilan yang sangat rapi agar pata tamu pesta juga mengira mereka adalah tamu undangan.
Semuanya masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan rumah sewa itu tanpa penghuni di dalamnya. Di dalam mobil, mereka sudah menyusun rencana sematang mungkin. Bisma telah memikirkan dan menyiapkan itu semua. Mobil itu akan lebih dulu pergi ke stasiun untuk menurunkan beberapa orang di dalam mobil untuk menaiki kereta menuju ke Amsterdam.
***
Mobil itu tepat berhenti di depan stasiun Middleburg. Sempa, Anto, Gusto, Galuh, Raden, dan Yudi turun dari mobil. Menyisakan Bisma, Jaka, Wawan, dan Gandi di dalam mobil itu.
"Jalankan sesuai apa yang telah direncakan oleh Bisma tadi sebelum berangkat. Jangan keluar dari benang merah ceritanya." Gandi mempertegas mereka untuk tidak melakukan gerakan tambahan.
Mereka yang sudah turun dari mobil itu mengangguk mengerti dan pergi meninggalkan mobil itu dan menuju segera masuk ke dalam stasiun untuk menaiki kereta yang akan membawa mereka ke Amsterdam. Mobil itu pun juga ikut pergi meninggalkan stasiun Middleburg dan tancap gas menuju ke Amsterdam. Dalam perjalanan, Gandi tampak gugup. Bisma juga seperti merasa cemas. Namun tidak dengan Jaka. Ia hanya diam tanpa mengeluarkan ekspresi apa pun—tak peduli dengan apa yang nanti akan terjadi pada dirinya. Untuk mengatasi suasana yang tampaknya tegang, Bisma mulai memutar radio yang ada pada layar depan mobil—tepat ada di hadapannya.
"Mengapa rasanya berbeda sekali ya saat ingin menyelesaikan ini semua?" Bisma bertanya keheranan kepada dirinya sendiri.
Gandi yang berada di dalam mobil jelas mendengar itu—Jaka pun seharusnya sama—namun ia hanya terdiam saja. "Terkadang luka yang telah terbuka lebar, tak cukup jika hanya menutupi lukanya. Bekas luka itu akan abadi, tak akan pernah hilang."
Bisma kembali diam, kini suasana di dalam mobil semakin hening—hanya suara mesin mobil yang terus menyala.
***
Di dalam gerbong kereta, Sempa, Gusto, Wawan, dan yang lainnya tak pernah lengah untuk tetap waspada terhadap ancaman. Mereka selalu melihat sekelilingnya dan gerak-gerik aneh dari penumpang lainnya yang baru masuk. Namun sampai saat ini, belum ada ancaman yang terlihat di mata mereka. Itu saat ini, entah ada apa nanti di satu menit lagi. Sama seperti dengan Bisma dan yang lainnya yang berada di dalam mobil, yang di dalam gerbong kereta pun mereka hanya berdiam diri saja. Tak ada lagi obrolan satu sama lain. Mereka tak ingin menghabiskan energinya masing-masing hanya untuk mengobrol. Karena mereka berpikir bahwa nanti saat mereka akan menginjakkan kakinya di Amsterdam, energi mereka akan terkuras habis. Sehabis-habisnya. Bahkan bisa tumbang jika mereka tak kuat.
Entahlah sudah berapa lama, sampai akhirnya mereka tiba di stasiun Amsterdam. Sempa dan yang lainnya sama sekali tak tahu bagaimana keadaan Bisma dan yang lainnya yang menggunakan mobil untuk sampai ke Amsterdam. Tapi Sempa percaya, tak akan ada hambatan yang mengganggu perjalanan mereka. Begitu juga dengan Sempa dan yang lainnya. Selama di kereta, tak ada ancaman atau bahkan orang yang mencurigakan masuk ke dalam kereta itu. Menandakan bahwa perjalanan mereka kini berjalan dengan sangat mulus. Mereka terus berjalan menuju rumah kediaman dari Arda. Karena memang jarak antara rumau dan pabrik kayu milik Arda juga tak jauh dari stasiun Amsterdam. Sekitar 2 kilometer berjalan, mereka akan sampai di tujuan. Mereka tak ingin menggunakan jasa transportasi untuk mengantarkan, karena itu termasuk pemborosan. Lebih baik uang itu digunakan untuk keperluan lainnya yang jauh lebih penting.
***