Langit Jakarta menjelang sore punya semacam pesona yang cuma bisa dimengerti oleh orang yang tinggal di kota ini. Entah karena bayang-bayang jingga yang menari di antara bangunan tua dan ruko-ruko warna pastel, atau karena aroma udara yang membawa jejak hujan semalam dan sedikit rasa manis dari es cokelat di pinggir jalan.
Keira Avanya menarik napas pelan saat berdiri di depan aula sekolah, memeluk gulungan kertas desain yang hampir dua minggu ia kerjakan bersama anggota klub seni. Seragam putih abunya sudah sedikit lecek, dan ada bercak cat biru di ujung lengannya. Tapi ia tak peduli.
Hari ini, ia ingin semua orang melihat hasil kerja keras timnya. Apalagi ini proyek pertamanya sebagai ketua klub seni.
"Kei! Lemnya tinggal satu!" seru Naya dari dalam aula.
Keira membalik badan. "Hah?! Mana cukup, ya Tuhan..." Ia memutar badan cepat, hampir tersandung langkah sendiri, lalu buru-buru berlari ke arah ruang seni.
Tapi langkahnya berhenti mendadak ketika matanya menangkap sosok seseorang sedang duduk santai di salah satu bangku taman kecil dekat lorong. Seragam olahraganya, jaket basket hitam dengan emblem sekolah di dada kiri, sepatu high-top abu-abu yang kotor di ujung, dan handphone melingkar di lehernya.
Raka Altair.
Cowok yang katanya jadi rebutan banyak siswi karena gaya dingin-dingin cuek tapi nilai matematika nggak pernah di bawah 90. Keira baru tahu wajah sedingin itu bisa kelihatan sehangat matahari sore... kalau diperhatikan baik-baik.
Tapi Keira nggak ada waktu buat merhatiin cowok yang bahkan nggak pernah ngobrol dengannya itu. Jadi ia melangkah cepat dan seperti dalam adegan drama remaja yang Keira pikir hanya terjadi di novel, bahunya menabrak Raka yang baru saja berdiri.
"Eh... maaf!" ucap mereka bersamaan.
Desain yang Keira peluk terlepas dari tangannya, berguling di tanah.
Seketika mereka berdua membungkuk bersamaan. Keira nyaris menyentuhkan dahinya me kepala Raka. Ia mendongak kaget dan matamu bertemu dengan tatapan mata gelap itu dari jarak yang terlalu dekat.