Pagi itu, saat alur kehidupan baru saja dimulai, Rey sudah sibuk dengan barang-barang bawaannya. Mengisi satu koper dan satu tas jinjing dengan pakaian dan segala perlengkapan yang dirasa perlu. Tak ketinggalan juga tas pinggang, untuk meletakkan ponsel dan tetek bengek yang butuh akses cepat untuk mengambilnya, karena bila diletakkan di tas besar akan merepotkan. Sementara Dinda yang telah berdandan rapi, hanya duduk di pinggir tempat tidur sambil mengamati suaminya.
“Emang harus berangkat hari ini juga ya, Bang?” tanya Dinda lirih. Akhirnya sesuatu yang mengganjal di hatinya lepas begitu saja. Dia tahu, ini bukan pertanyaan yang tepat di waktu yang tepat.
“Ya, iyalah, kan udah ambil tiket!” jawab Rey sekenanya tanpa mengalihkan pandangan dari apa yang sedang dilakukannya. Dia memang terbiasa melakukan pengepakan barang sendiri dan cukup menikmati kegiatan itu. “Emang kenapa?”
“Enggak ....“ Dinda urung melanjutkan kalimatnya.
“Kalo enggak, ya, ngapain nanya?”
“Soalnya ... hari ini kan, aku ulang tahun, Bang!” Suara Dinda semakin lirih, hampir tak terdengar, tapi tetap memberanikan diri untuk menjawab.
“Apa?” Tak ayal Rey langsung mengalihkan pandangannya pada Dinda. Menatap seolah tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
Dinda tak berani membalas tatapan Rey. Dia sudah khatam akan tabiat suaminya itu. Rey sangat tidak suka bila apa yang sudah jadi rencananya tiba-tiba harus batal. Terlebih lagi untuk hal-hal yang dianggapnya tidak penting. Tapi entah kenapa, Dinda masih juga melakukannya, berusaha agar Rey mau mengundur keberangkatannya. Lagi pula, apa kata orang-orang kalau mereka tahu akan hal ini. Suaminya berangkat tepat di hari ulang tahunnya. Seolah dirinya tak punya arti apa-apa bagi suaminya sendiri.
“Kamu ngga malu apa, sama Haykal? Masak, ulang tahun emaknya mau dirayain juga. Kayak anak TK!” Rey kembali melanjutkan mengepak barang-barangnya, tanpa berniat lagi untuk melanjutkan pembicaraan.
Dinda hanya bisa menelan rasa pahit dari apa yang baru saja diluapkan suaminya. Berusaha sekuat hati menahan agar bulir bening dari matanya jangan sampai membasahi pipi, atau dia akan kembali mendapat kecaman, yang mungkin lebih pahit lagi. Kamar yang lapang dan terang itu seketika terasa sempit dan gelap. Membuat dadanya sesak.
Perlahan Dinda bangkit, berjalan ke kamar mandi untuk menumpahkan semua yang mengendap di hatinya. Baginya, ulang tahun bukanlah soal perayaan. Toh, dia tidak meminta untuk itu. Dia hanya ingin di hari itu, suaminya ada di dekatnya. Menikmati waktu bersama.
Baginya, ulang tahun adalah, di mana, tepat di hari itu dia terlahir. Dan hingga hari ini dia masih hidup. Dia ingin, suaminya berucap sambil mengecup mesra keningnya, “Terima kasih sayang, Kau telah lahir untukku dan menemani hidupku, mewarnai hari-hariku. Teruslah ada untukku, sehat selalu.” Itulah kata-kata yang ingin didengarnya dari Rey, bukan bentakan seperti tadi yang justru sangat menghancurkan hatinya.
Namun dia sadar diri, kalimat itu hanya karangannya sendiri. Jadi, dia pulalah yang akan mengucapkan kata-kata itu untuk dirinya. Semakin miris perasaan Dinda menikmati kenyataan itu.
Ada sesuatu yang terasa mencekat di tenggorokannya, susah untuk ditelan, pun untuk dimuntahkan. Begitu menyesakkan, membuatnya harus mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat, agar perasaannya bisa menjadi lega kembali.
Keluar dari kamar mandi, perempuan bertubuh mungil itu merapikan sedikit riasan tipis di wajahnya, sekadar menghapus sisa kesedihan. Seraut wajah dengan kulit kuning langsat terpantul dari kaca lemari antik di dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Di mata orang lain Dinda adalah wanita berwajah cantik, tapi perlakuan Rey membuat dia merasa seperti perempuan jelek dan lusuh yang tak pantas dicintai. Dia mengusap lembut wajahnya seakan ingin menghibur hatinya sendiri.
Tak lama kemudian dia keluar, dengan langkah berat berjalan ke rumah Icha yang hanya berjarak tiga buah rumah dari tempat tinggalnya. Mau menitipkan Haykal yang sedang berada di sekolah, agar nanti main di rumah Icha dulu karena dia akan mengantar Rey ke bandara.
Setelah itu, Dinda kembali ke kamar. Menemui suaminya yang telah selesai mengepak barang dan tengah memandangi pantulan dirinya sendiri di cermin sambil menggulung lengan kemeja. Aroma peppermint menguar dari balik kemeja itu. Biasanya, bau parfum itu seumpama magnet yang menarik Dinda begitu kuat untuk mendekat, memeluk suaminya itu dari belakang, dan menghirup baunya sepuasnya. Namun hari ini, bahkan untuk mendekat pun nyalinya sudah ciut.
“Yuk, Bang, aku sudah siap!" seru Dinda pada akhirnya, dengan suara yang dibuat ceria seolah tak pernah terjadi hal yang tidak menyenangkan sebelumnya.
Dia juga sudah menyiapkan tas kecil di tangan. Rey hanya melirik sekilas pada Dinda kemudian meraih tas serta koper yang akan dibawanya, menjinjing dan memasukkan ke bagasi yang sudah terbuka. Mesin mobil juga sudah dinyalakan Dinda sebelumnya.