Pagi telah lewat, siang segera menjelang. Burung-burung sedang beristirahat setelah lelah berkicau sedari tadi. Orang berlalu lalang di jalan pun telah mulai sepi. Seorang wanita muda berusia awal tiga puluhan berjalan sendiri menuju sebuah rumah yang terlihat sepi, seperti rumah yang sudah lama ditinggalkan. Sambil membuka pagar yang tidak terkunci, dia melihat sekeliling. Dedaunan dari pohon bunga nusa indah merah yang berdiri di sudut, berserakan tertiup angin ke seluruh halaman. Beberapa bunga di pot juga mulai terlihat layu.
"Assalamu’alaikum,” salam Icha sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban, dia mencoba mengintip dari jendela. Sepi, tak terlihat siapa pun. Dinda ke mana, ya? Dengan perasaan ragu, Icha terus mengetuk pintu.
Setelah mengucap salam beberapa kali dan menunggu beberapa waktu, terdengar sahutan dari dalam rumah.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Dinda sambil membuka pintu dan mempersilahkan Icha masuk. Matanya terlihat sedikit sembab.
Icha masuk sambil menebarkan pandangan, menyapu seluruh ruangan. Semua bersih dan rapi, lantai dan semua perabotan. Sungguh kontras dengan pemandangan yang dilihatnya di luar tadi. Lalu Icha mengalihkan pandang ke wajah Dinda.
“Kenapa Din? Habis nangis, ya?” selidik Icha sambil mengamati wajah kakak iparnya itu.
Walaupun kakak ipar, tapi sebenarnya Dinda dan Icha sebaya. Karena itu, Icha hanya menyebut Dinda dengan namanya saja.
“Enggak kok, baru bangun, semalam habis begadang. Haykal demam, badannya panas. Habis minum parasetamol, udah agak mendingan. Sekarang dia lagi tidur,” jawab Dinda cepat, dengan suara yang terdengar serak sambil pura-pura meregangkan tubuhnya.
“Pantesan, Syakira bilang, Haykal udah dua hari ngga sekolah,” kata Icha.
Syakira, anak Icha yang duduk di bangku kelas tiga SD, memang selalu berangkat ke sekolah bersama Haykal. Kebetulan TK tempat Haykal sekolah bersebelahan dengan sekolahnya. Makanya mereka selalu berangkat berbarengan menggunakan ojek langganan.
Walau apa yang diucapkan Dinda ada benarnya, bahwa Haykal anaknya memang demam, tapi untuk perasaannya yang tengah berkecamuk saat ini, dia tidak ingin Icha tahu. Bahwa dia memang habis menangis. Dan itu cukup hanya bantalnya yang tahu.
Sudah hampir sepuluh hari Rey pergi. Biasanya takkan lebih dari seminggu. Dinda ingat tas dan koper besar yang dibawa suaminya itu, seolah kepergiannya yang lama ini sudah direncanakan dari semula.
Sejak kepergiannya, Rey belum pernah menghubungi istrinya itu sekalipun. Hanya Dinda yang menelepon, untuk menanyakan bagaimana perjalanannya. Selain menelepon, dia mencari tahu tentang Rey lewat jaringan media sosialnya. Lelaki itu meskipun tidak begitu aktif di media sosial, tapi teman-temannya sering men-tag Rey bila kebetulan ada aktivitas bersamanya yang mereka bagikan. Dinda pun juga berteman dengan hampir semua teman-teman Rey. Selain itu media sosial baginya hanya untuk mengetahui kabar teman-temannya di rantau, sesekali berkomentar bila postingan mereka terlalu menggelitik hatinya.
Seperti di hari pertama keberangkatan Rey, malamnya dia melihat postingan Revan bersama suaminya di sebuah kafe. Memang, Rey mengatakan bahwa Revan akan menjemputnya di bandara, dan seperti biasa dia selalu menginap di rumah duda keren tanpa anak itu.
[Van, ini foto kapan?] Akun seorang perempuan bertanya di kolom komentar postingan Revan. Dinda langsung memeriksa profil perempuan itu. Ternyata pemilik akun bernama “Bunda Naysila” dengan foto profil menggunakan gambar siluet seorang wanita yang menghadap ke samping itu adalah Yeni, bendahara di kantor camat yang tinggal dekat lapangan bola. Yang dia tahu, Yeni orangnya suka menggosip, sehingga Dinda sadar bahwa dirinya akan segera jadi bahan gosip perempuan itu, yang membuat Dinda semakin tak ingin menampakkan mukanya pada orang-orang.
[Ya hari ini, dong!] jawab Revan.
[Lho, Rey udah pergi lagi? Bukannya minggu kemarin baru datang. Lagian sekarang ulang tahun istrinya, kan?] Pertanyaan Yeni terasa mengandung cemoohan bagi Dinda.
[Tau tuh, Rey, tegaan amat ama bininya!] Akun bernama Yola ikut menimpali, diakhiri dengan emoticon mencibir dan ketawa lebar. Dan komentar ini disukai oleh lima akun lainnya.
Dia ingin membalas cibiran itu tapi tak kuasa. Akhirnya dia hanya menangis, menahan kepedihan yang terasa amat sangat. Terlebih lagi, Rey seperti tak ada niat melakukan pembelaan.
Pulang dari mengantar Rey ke bandara waktu itu, Dinda menyempatkan belanja di pasar yang ada di daerah tempat bandara tersebut berada karena dia melihat pasarnya cukup besar yang berarti semua kebutuhannya juga tentu tersedia di sana. Dinda membeli kebutuhannya dalam jumlah ekstra. Maksudnya supaya selama Rey pergi, dia tidak perlu keluar rumah selain untuk keperluan yang mendesak. Makanya begitu sampai di rumah, Dinda langsung menutup body mobilnya yang sudah dia parkir di carport dengan terpal sarung mobil.
Rumah yang ditempatinya ini, memang terlihat kuno. Namun bangunannya sangat kokoh. Karena itulah dia dan suaminya sepakat untuk mempertahankannya tanpa harus mengubah bentuk rumah tersebut. Karena itu pulalah, rumah mereka tidak memiliki garasi. Lagi pula, dengan tidak mengubah apa pun dari rumah ini, seolah mereka memelihara kenangan masa kecil Rey dan kebersamaan dengan orang tua serta saudara-saudaranya.
“Ada apa, Cha?” tanya Dinda menanyakan maksud kedatangannya pada Icha yang langsung duduk di sofa dan menyalakan televisi.