Tak Pernah Ada 1999

Maveera
Chapter #1

Hari Yang indah

Sebuah balon gas berwarna merah terbang melayang diiringi tangis seorang anak perempuan. Laju balon itu lalu terhenti karena tersangkut pada sebuah pohon beringin besar. Orang-orang yang melihatnya langsung riuh. Seorang wanita yang tampaknya merupakan ibu dari anak perempuan itu sibuk menenangkan sang anak yang berteriak semakin keras.

Rana tersenyum, perlahan ia berjalan menuju seorang penjaja balon yang berdiri di samping gerbang kampusnya. Membeli balon yang sama dengan balon yang baru saja bertengger di dahan pohon, lalu menghampiri anak perempuan yang masih belum berhenti menangis.

“Ini, Dik. Jangan nangis lagi, ya.” Rana berusaha berjongkok, tetapi kain kebaya yang dipakainya membuatnya tidak bisa bergerak leluasa. Akhirnya, ia hanya membungkuk saat memberikan balon itu.

Anak itu langsung menghentikan tangisnya dan tersenyum sambil menatap Rana lekat. Tidak sia-sia Rana membeli balon yang harganya naik tiga kali lipat hari itu.

“Terima kasih banyak, Mbak. Anak saya kurang kuat memegang balonnya tadi.” Wanita setengah baya yang berdiri di samping anak perempuan itu mengangguk pada Rana.

Setelah berbasa-basi sejenak, Rana kembali melangkahkan kakinya di pelataran kampus yang terletak di tengah kota itu. Kedua matanya terus mengedarkan pandangan, mencari satu sosok yang telah dinantinya sejak ia tiba. Ia cukup kesulitan, mengingat ada lebih dari seribu orang yang hadir di kampusnya kini. Dan jumlahnya masih akan bertambah.

Sejak pagi ratusan mobil berhenti silih berganti di depan pintu gerbang, menurunkan wisudawan dan wisudawati dengan para pendampingnya. Bukan hanya membawa kedua orang tuanya, Rana juga banyak melihat para wisudawan yang membawa anggota keluarganya yang lain.

Hari ini apa yang telah diimpikan Rana selama hampir lima tahun akhirnya terwujud. Keinginannya untuk menjadi seorang Sarjana Psikologi telah teraih. Ia mengajak ayah dan ibunya untuk menghadiri acara yang telah ditunggu kedua orang tuanya dan terus ditanyakan saudara-saudaranya. Masih terbayang bagaimana ayah dan ibunya saling berdebat menentukan pakaian apa yang akan mereka kenakan pada acara sakral tersebut.

Sasikirana Larasati, gadis berusia 22 tahun yang memiliki minat yang sangat tinggi pada bidang psikologi. Sejak duduk di bangku SMA, ia terus berangan-angan untuk menjadi seseorang yang sangat pintar yang bisa membantu memecahkan masalah orang lain. Seorang Psikolog yang mempunyai rubrik khusus di sebuah majalah wanita telah lama menjadi inspirasinya. Rana selalu terkagum-kagum saat membaca bagaimana Psikolog itu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikirim pembaca. Semua masalah tampak bisa ia atasi dengan mudah.

“Hari Wisuda itu harus banyak bersyukur. Jangan melamun, pamali!” Suara yang sangat dirindukannya itu akhirnya terdengar. Seorang pemuda kini sudah berdiri di hadapannya. Asep Suyatna, kekasih yang telah mendampingi Rana selama hampir enam tahun, datang tanpa membawa karangan bunga. Ia memakai kemeja berwarna putih dengan celana panjang hitam dan menggenggam sebuah tas kulit berwarna hitam.

“Maaf, aku datang terlambat,” kata pemuda itu lagi.

“Andai kamu datang satu jam lagi pun aku tidak apa-apa,” ucap Rana tulus.

Rana lalu menggenggam tangan Asep dan mengajaknya menemui kedua orang tuanya. Sebentar saja Asep sudah terlibat obrolan yang seru dengan Ayah Rana. Ya, hubungan mereka memang telah direstui kedua orang tua Rana. Asep yang jujur dan sederhana telah berhasil memikat hati ayah dan ibu Rana.

Sang kekasih telah bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Asep mengambil kuliah jenjang D3 sehingga ia lulus lebih dahulu dan berhasil mendapatkan pekerjaan sebulan setelah ia menyelesaikan studinya.

Saat orang tua dan kekasihnya asyik berbincang, perhatian Rana kembali teralihkan pada anak kecil yang memegang balon merah. Bersama ibunya, anak itu berjalan mendekatinya. Keduanya tersenyum saat melewati Rana.

“Saya pulang duluan, Mbak.” Wanita itu mengangguk pada Rana.

“Lho, Mbak? Acara wisudanya, kan, belum selesai.” Rana merasa heran. Gadis itu membalas lambaian tangan anak perempuan yang kini tersenyum lebar padanya.

“Saya hanya berkunjung, Mbak. Dulu saya ingin sekali bisa kuliah di sini. Tapi SMA saja saya tidak lulus. Saya senang datang kemari setiap ada acara wisuda, membayangkan saya menjadi salah satu wisudawati yang memakai toga.”

Wanita itu terus tersenyum, seakan-akan apa yang dikatakannya hanyalah hal yang biasa. Sementara itu, Rana yang tertegun tidak tahu harus berkata apa.

Tidak terbayangkan bagaimana rasanya jika ia berada di posisi wanita tersebut. Ia mungkin tidak akan bisa menerima kenyataan dengan baik. Rana sungguh merasa beruntung bisa sampai ke titik ini.

***

Lihat selengkapnya