Tak Pernah Ada 1999

Maveera
Chapter #3

Empati untuk Alea

“Woii! Matamu ditaro dimana?” Pengemudi angkot yang ditumpangi Rana mengeluarkan sumpah serapah, membuat sang gadis sempat tersentak.

Semua yang ada di dalam angkot tidak kalah terkejutnya. Rupanya, sepeda motor yang tengah mereka perhatikan tiba-tiba melaju dalam kecepatan tinggi dan hampir saja menyenggol angkot yang mereka tumpangi.

Rana berpikir keras hingga keningnya berkerut. Pemuda tadi memakai tas selempang dengan sebuah gantungan berbentuk bintang berwarna biru. Di permukaan bintang itu ada inisial AA. Rasanya Rana pernah melihat gantungan kunci yang sama tetapi ia lupa kapan dan di mana.

Setibanya di rumah, Rana langsung menuju kamarnya dan berjalan menuju meja telepon. Ia tidak sabar untuk segera menceritakan kegiatannya hari ini pada Asep.

“Halo ….”

“Halo, Sayang. Maaf aku tidak jadi menjemputmu. Bos tiba-tiba saja meminta semua karyawan mengikuti rapat mendadak.”

“Tidak apa-apa, Sayang. Yang penting kamu tidak pergi dengan perempuan lain,” ujar Rana setengah merajuk.

Terdengar tawa di seberang telepon. Selanjutnya, dengan bersemangat Rana menceritakan pertemuannya dengan Alea. “Aku jadi sadar bahwa aku beruntung karena memiliki kekasih yang memiliki visi dan misi yang sama denganku,” ucap gadis itu tulus.

“Kamu harus bisa memberi nasihat yang bijaksana, ya, Kakak Psikolog,” sahut Asep.

“Oke, sudah dulu, ya. Telepon ke ponsel biayanya mahal.” Rana menutup telepon dengan senyum yang terus tersungging di bibirnya.

***

Hari ini Rana memutuskan untuk tinggal di rumah saja. Walaupun banyak yang ingin ia lakukan di luar rumah, situasi kota yang tengah panas oleh gelombang demonstrasi membuatnya malas untuk pergi kemana pun.

Rana menyalakan televisi, menyimak berita tentang kenaikan harga yang terus meresahkan.

Hari demi hari kini selalu dihiasi berita tentang keterpurukan ekonomi di Asia. Ibu juga selalu mengeluhkan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi. Harga mahal mungkin tidak terlalu menjadi masalah bagi orang-orang yang memiliki tabungan ataupun penghasilan yang memadai. Namun, kini mereka yang memiliki uang yang mencukupi pun kebingungan karena barang-barang yang dibutuhkan tidak ada di pasaran. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab banyak yang menimbun barang-barang di gudang mereka.

Telepon di ruang tengah berdering, ibu mengangkatnya lalu memanggil Rana. Dengan bingung, Rana mengarahkan gagang telepon itu ke dekat telinganya.

“Kak, nyalakan televisi sekarang! Lihat berita demonstrasi mahasiswa di gedung DPR,” teriak Alea di ujung sana.

Lihat selengkapnya