"Is it just me that hate it when people told me to do something when i'm about to do it. Seems like, i would do it just because they command me."
Begitulah tulis tokoh utama kita, Arik Sutiawan, di jam tujuh pagi lewat lima belas menit. Bukannya mandi, ia malah membuka media sosialnya, lalu menulis sesuatu di kotak yang bernama 'status'.
Tampaknya Arik masih kesal dengan perlakuan ayahnya, Pak Andi, yang terus menerus memaksa dirinya untuk melanjutkan usaha keluarganya yang sudah berlangsung selama lima generasi. Bukannya Arik tidak mau, masakan seorang lulusan fakultas Hukum banting setir menjadi tukang soto?
Arik menghela napas. Gawai masih berada di tangannya. Layarnya masih menampilkan beranda media sosial yang ia buka. Ia melihat-lihat sebentar sederetan pembaharuan akun oleh beberapa teman daringnya. Sesekali tertawa, sesekali bengong. Hampir saja ia berteriak, yang pada akhirnya hanya mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Tim sepak bola favoritnya, Juventus, menang lagi.
"'A true gentleman never leaves his lady'. Begitulah kata Allesandro Delpi. Forza Nero Turin!" begitulah yang ditulis Arik sebagai status Facebook-nya.
Arik memang seorang pendukung garis keras Nero Turin. Ia sudah mendukung klub dengan logo kuda jingkrak itu sejak tahun 2000. Eh, atau, lebih lama lagi? Entahlah, yang penting, saksikan terus novel "Tak Sambat" ini. Kita akan mengetahui sejak kapan Arik mengidolakan Alessandro Delpi, dkk.
Saking mendukung tim Juventus, lihat saja lemari baju Arik. Ditempeli stiker-stiker klub sepak bola dari kota yang berasal dari utara Italia tersebut. Ada yang berlogo kuda jingkrak (logo Nero Turin di 2000-an awal), ada stiker berupa tipografi Nero Turin, ada pula stiker berupa pemain-pemain Juventus (macam Alessandro Delpi, Fabio Canno, atau Lilien Tham). Ke sanalah pandangan Arik tertuju sekarang.