Tak Sambat

Nuel Lubis
Chapter #5

Mumet Pikirane Arik

"On the earth, there's no heaven, but in this place, I can see a fragment of this."

Terbongkarlah sudah. Tempo lalu Arik sudah disidang oleh ayah kandungnya tersebut. Lama juga sidangnya. Ada sekitar dua jam lebih tiga puluh menit. Kurang lebih lamanya segitu. Walau bukan sidang juga, lebih tepatnya adu debat layaknya mereka berdua sedang berada di acara "Lawyer Meeting" yang dipandu oleh Karno Ilham yang sering membuat Pak Andi ingin melemparkan asbak ke arah Karno Ilham (meskipun terhalang layar kaca televisi). 

Kalah, sih. Biar bagaimanapun status Arik memang anaknya Andi. Andi juga yang menafkahi Arik sampai Arik bisa mendapatkan penghasilan sendiri. Bagaimana mau menghasilkan penghasilan sendiri, jika perjalanan menggapai impian menjadi penerus Bigman Paris Hutajulu harus berhadapan dengan sang pemberi uang saku (dan uang transportasi serta uang-uang lainnya). 

Arik mendumel. Sembari merebahkan diri di atas ranjang yang berseprei logo klub sepak bola dari Manchester, Arik menggerutu di balik sebuah buku filsafat. Sebetulnya Arik tak benar-benar membacanya. Arik hanya butuh sesuatu agar gerutunya tak terlalu terlihat sebagai sebuah gerutu. Bisa dibilang buku filsafat itu hanya topeng untuk menutupi sebagian gerutunya. 

Sembari membaca, Arik iseng membuka beberapa akun media sosialnya, yang sebetulnya tiga saja: Facebook, Twitter, dan Instagram. Yang pertama dibuka Arik adalah Instagram. Entah ada angin apa, yang mungkin angin dari negeri khayalan, yang muncul terlebih dahulu adalah post Instagram Stella, pacarnya Arik, alias ayune Arik. Stella terlihat sedang berada di Grand Canyon dengan mengenakan jaket tipis warna keperakan dan kaus tipis bertuliskan 'I love New York I Love You'. Sebagai caption, tertulis kalimat cantik, "On the earth, there's no heaven, but in this place, I can see a fragment of this."

Astaga, Arik seperti melihat sebuah sorga. Ah, mungkin sorga memang nyata, yang senyata foto Stella sedang berada di Grand Canyon. Lucu memang Arik. Arik, Arik, seharusnya dikau menjadi penerus komedian legendaris tersebut daripada Bigman si pengacara kondang. Lucu sekali kamu, Rik. Lah, Grand Canyon itu ngarai, Rik. Ngarai itu cenderung gersang, kering, dan ibarat seorang lajang puluhan tahun yang membutuhkan cinta. Lebih tepatnya kamu merasa di sebuah neraka, bukannya sorga. Jika Stella berada di Maunalua Beach Park, barulah kamu bisa bilang seperti melihat sorga dengan penampakan seorang bidadari (yang mana bidadarinya adalah Stella, ayune Arik). Yah, tapi, yah, sudahlah, Arik merasa seperti itu, yang seperti melihat seorang bidadari bernama Stella tengah mengunjungi sorga bernama Grand Canyon--yang lebih mirip neraka sebenarnya. 

Arik mendesah, "Gusti, Gusti, naliko aku iso pergi kanggo Grand Canyon iki?"

Pintu kamar sekonyong-konyong diketuk. 

Arik bangkit berdiri dan bergegas menuju ke arah suara ketukan pintu. Bunyi 'Ceklek, ceklek' terdengar. Ternyata sudah berdiri di depan pintu Ibu Rika, ibunya Arik, yang lebih memahami Arik. Arik memaksakan diri untuk tersenyum. 

"Wis adus, Arik?" tanya Ibu Rika balas tersenyum. 

Lihat selengkapnya