"Nikah gini amat, yah, Mas. Awal-awal nikah, istri ngambek mulu. Padahal, dulu, di awal-awal pacaran, manjanya kayak apa aja, bikin aku serasa di surga. Dan, yang paling susah itu menekan ego, Mas. Gampang emang, frater-nya tinggal ngomong, jangan egois. Prakteknya kan susah."
Arik hanya mengangguk-nganggukkan kepala sembari kembali menusuk lontong dan memasukkan lontong itu ke dalam mulutnya. Ada angin apa, tiba-tiba sebelum ikut misa pagi, di sebuah warung tenda dekat gereja, Arik didekati oleh seorang laki-laki berkemeja garis-garis merah seperti kader partai berkepala moncong banteng.
"Istrinya nang endi?" tanya Arik sekadar berbasa-basi. Aslinya Arik bingung harus merespon apa. Lah, tiba-tiba saja ia didekati, diajak mengobrol, dan seolah-olah ingin meminta pendapat Arik. Karena Arik memang tipe orang tidak tega dan suka sok kenal-sok dekat, hatinya Arik pun tersentuh, Arik coba menanggapi si laki-laki sebisanya.
"Tadi ijin ke toilet, dianya, Mas," Lalu si laki-laki ikut memesan sepiring lontong sayur alias ketupat tahu. Tanpa pedas, karena laki-laki ini memiliki riwayat asam lambung. Dia sendiri yang memberitahukannya kepada pedagang ketupat tahu berpeci hitam ini, yang sekaligus merangkap sebagai tukang parkir.
"Wong jowo ugi?" tanya Arik yang mulai terengah-engah. Oh, karena kepedasan. Kebalikan dari laki-laki bergaris-garis merah ini, Arik senang sekali dengan makanan pedas. Kurang pedas, kurang sedap. Begitulah prinsip Arik dalam menikmati sebuah makanan.
Si laki-laki hanya mengangguk dan berkata, "Monggo, Mas, nuwun sewu, mangan dhisik."
"Asline mana?" tanya Arik, yang mana jiwa sok kenal-sok dekatnya mulai keluar.
"Solo, Mas, cedhak stadion. Lahir ing Solo, nanging gede ing Jakarta."
"Lah, piye, toh, Mas?" Arik tertawa dan nyaris tersedak. Sudah sih, dan buktinya, dia langsung menyeruput teh botol. "Gede ing Jakarta, sampeyan kok ngerti posisine sampeyan lahir?"
"Soko orangtuaku, lah, Mas. Kamu iki, aya-aya wae. Saya dudu peramal, Mas'e." ujar si laki-laki nyengir.
"Tak pikir sampeyan bisa ngeramal." ucap Arik cengar-cengir. Arik kembali menyeruput teh botol. Sementara itu, porsi ketupat tahu miliknya mulai habis. Arik bersiap untuk membayar jatah ketupat tahunya.
Di saat Arik hendak mengeluarkan uang dari dompetnya, sekonyong-konyong si pedagang ketupat tahu memasang lagu keroncong yang cukup terkenal Solo. Yang menyanyikannya itu penyanyi kurang dikenal publik.
"Demen keroncong juga, Mas?' tanya Arik sembari menyerahkan selembar uang sepuluh ribu rupiah dengan harapan kembaliannya tiga ribu rupiah. Seporsi ketupat tahu yang komplet dengan telur, yang di tahun 2014, di daerah itu, memang hanya Rp 7000.