Tak Sambat

Nuel Lubis
Chapter #19

Arik Ndumelin Stella

"Stella, Stella,..." ujar Arik rebahan di atas tempat tidurnya yang berseprai klub sepakbola asal kota London. Gerakannya tak menentu. Kadang ke kiri, kadang ke kanan. Kadang memeluk guling. Kadang mengambil posisi setengah duduk, namun masih di atas tempat tidur. "Tego kowe, Stella. Sampeyan tego. Aku ing kene moco koran nalika sarungan. Lah, sampeyan malah blonjo-blonjo dasteran mahal."

Arik sontak berdiri. Ia mengambil ponselnya yang tadi ia taruh di atas nakas. Apakah ia harus menghubungi Stella? Jika harus menghubungi Stella, pasti via fitur direct message Instagram. Sebab, Arik belum memiliki nomor ponsel Stella yang versi Indonesia. Selama ini, kan, memang Arik dan Stella lebih sering berkomunikasi via Instagram atau Skype.

"Stel, aku iso opo?" keluh Arik seperti seorang anak kecil yang mengambek karena belum diberikan uang saku selama dua minggu. "Jujur, Stel, aku wegah kelangan. Aku iseh tresno karo kamu, Stella. Aku wis kebacut nyaman, dadi aku kerep pamer-pamerke sampeyan kanggo papa, mama, adik-adik aku, karo temen-temen aku. Iki amergo aku pancen tresno karo kamu, Stella. Nanging, opo? Jebule saiki aku mung dadi badute kamu."

Tampaknya Arik benar-benar berantakan. Suasana hati Arik tengah kacau. Lihat saja, kata-kata yang diucapkan Arik tadi. Hei, Arik, itu Stella pacarmu. Tega kamu, menggunakan kata 'kowe' ke Stella. Walau Stella tak berada di sekitarnya, tetap saja itu terdengar kasar sekali. 'Kowe' atau 'koen' itu bahasa kasar, dan sebaiknya tidak diucapkan ke orang, jika tidak terlalu mengenal secara akrab yang bersangkutan.

"Rik," seru Pak Andi dari arah luar kamar Arik. "Wis, Rik, wes tok, ikhlasin Eriska Rein itu. Eriska Rein wis punya bojo."

Di dalam kamar, Arik terbengong-bengong. Pak Andi, pacarnya Arik itu Stella, bukannya Riska Zain. Arik bahkan belum pernah berjumpa dengan Riska Zain sama sekali, selain melalui layar kaca televisi.

Lalu, hening.

Untuk sementara, Arik berhenti menangis seperti anak kecil yang baru saja dirundung oleh teman sekelasnya. Arik memilih untuk duduk di atas tempat tidurnya, lalu sekejap saja kembali merebahkan diri. Guling itu kembali Arik peluk. Arik memeluk guling itu sembari meraung-raung. Eh, lebih ke arah terisak-isak, sih. Arik takut mendapatkan teguran dari Pak Andi lagi. Beberapa kali Arik menangisi Stella seolah-olah hubungan Arik dan Stella baru saja putus. Padahal, kenyataannya, hubungan Arik dan Stella sungguh baik-baik saja. Arik saja yang terlalu melodrama.

Sudahlah, Arik, saya--selaku penulisnya--jenuh juga untuk menuliskan setiap kesedihan kamu. Terkadang para pembaca Indonesia lebih membutuhkan kisah-kisah yang membuat bibir tersenyum. Tak sedikit pembaca kurang menyukai sebuah elegi. Lihat, tuh, sinetron-sinetron Indonesia. Beberapa FTV malah akhir ceritanya memilukan sekali. Sudah episodenya sampai angka seribu, hobi membuat para emak menghabiskan tisu, eh, sampai sekarang belum tamat pula. Kenapa emak-emak lebih senang yang membuat air mata mengalir daripada tontonan komedi yang membuat terpingkal?

"BERISIK KOEN IKU, AUTHOR!" teriak Arik.

Lihat selengkapnya