"Ono sing sakit, yo?! Yo weis, cepet sembuh, yah, Baby. Ora main hape mulu. Ora lali karo obatmu, Stel. Sregep mangan ugi."
Pantas saja ponsel Arik agak berat. Ada pesan--yang jumlahnya tak sedikit--tak dihapus oleh Arik. Beberapa di antaranya berasal dari Stella. Jumlahnya ratusan. Eh, maaf, agak berlebihan. Lebih ke arah puluhan, sih. Kini, salah satu pesannya sedang dibaca oleh Arik.
Saat itu, Arik nekat saja mengirimkan pesan dalam bahasa Jawa ke Stella. Stella yang menerimanya langsung mengernyitkan dahi, tentu saja. Bahkan, tanpa sepengetahuan Arik, Stella sempat bertanya ke beberapa orang temannya perihal arti secara harfiah pesan Arik tersebut. Di kamarnya, Arik mulai bingung mengapa Stella lama membalas pesannya tersebut. Arik langsung meralat dan mengirimkan pesan berikutnya (yang merupakan terjemahan dari pesan sebelumnya).
"Stel, kok lama kamu balasnya? Bingung, yah, artinya apa? Aku cuma mau bilang, cepet sembuh aja. Jangan lupa obatnya diminum teratur."
Langsung muncul balasan dari Stella. "Astaga, itu, toh, artinya. Tadi aku sempet nanya guru Kimia aku waktu SMA. Guruku ini asalnya dari Ponorogo. Bisa bahasa Jawa, dia."
Arik langsung menepuk dahinya. Walau demikian, Arik mulai merasakan Stella begitu tulus mencintainya. Bagaimana tidak tulus, jika sampai meneruskan pesan berbahasa Jawa tersebut ke seorang guru yang fasih berbahasa Jawa. Lalu Arik berpikir pula, jika tidak tulus, dan Stella hanya mau bermain-main, mungkin reaksi Stella akan seperti ini:
"Apaan sih kamu? Nggak jelas banget. Alay kamu. Malesin banget. Pake bahasa Indonesia aja. Nggak usah pake bahasa planet lain."
Iya, mungkin balasan Stella akan seperti itu. Yang terjadi malah sebaliknya. Stella justru meneruskan pesan tersebut ke orang lain, hanya untuk sekadar menanyakan artinya.
Saat mengingat kejadian itu, Arik menengadahkan kepala ke arah langit kamar yang agak silau karena bohlam lampu. Ia tersenyum kecil dan agak meringis. Ini sebuah tangis haru. Sekonyong-konyong Arik tertawa. Ia menertawakan kekonyolan dirinya dan Stella saat itu.
Arik masih bernostalgia.
"Owalah," ketik Arik ke Stella (yang saat itu). "Niatnya kamu, Baby. Eh, boleh nangis nggak, nih?"
"Kenapa harus nangis? Hahaha..." tanya Stella balik.
"Aku terharu, Baby. Ternyata cintamu ke aku ndak main-main."