"Aisah, masihkah dia mencintaiku, saat kau jauh?" Arik bersenandung di depan cermin.
Arik sudah bersiap menuju stasiun televisi tersebut. Iya, stasiun televisi di mana talkshow mengudara. Trans 7. Ia segera mengambil parfum dan menyemprotkan cairannya ke kedua ketiaknya. Ia mencium salah satu ketiaknya.
"Ummm, wangi..." desis Arik. Lalu, ia bercermin lagi dan mengelus-elus dagunya. Arik merasa ada yang ganjil di dagunya. Terasa kasar. Apa perlu dicukur?
Sekonyong-konyong Arik berpikiran yang bukan-bukan. Overthinking, kata para bulai di Amerika Serikat sana. Bisa-bisanya Arik berpikir nanti akan disorot kamera, dan kamera-kamera Trans 7 pasti memiliki kualitas mumpuni. Kemarin-kemarin saja ada teman Arik menjadi penonton bayaran di Dahsyat, eh, bisul di dekat hidung si teman saja tersorot kamera.
"Wah, iso bahaya iki, kalo kesorot kamera sana," ujar Arik yang segera mengambil pisau cukur. Arik mencukur pelan-pelan janggut-janggut kecil yang mulai tumbuh. "Auch!"
Di saat Arik yang mendadak kesakitan, pintu kamar Arik diketuk. Itu Ibu Rika, ibu kandung Arik. "Rik, piye? Wis redi kamu iku?"
Arik tergopoh-gopoh mengambil tisu yang berada di rak bukunya. "Iya, Ma, nanti aku keluar. Bentar lagi."
Ayahnya ikut berseru dari arah luar kamar Arik. "Kamu 'gi ngapain, Arik? Koyo cah wedon wae. Buruanlah, Rik. Shooting-ne mulai jam enem. Iki wis jam telu. Wis Asar. Macet, Rik. Ojo keseringan mikirin Riska Zain. Pacarmu luwih ayu ketimbang Riska Zain iku."
Arik mendengus. Matanya melotot. Arik kesakitan lagi. Ia tak sadar sebelah tangannya sedang memegang pisau cukur. Sakit, kan, Arik, menggenggam erat pisau cukur.
Keluh Arik dengan suara nyaris berbisik, "Papa apaan, sih? Kenal ugi ndak karo Riska Zain. Ketemu lom pernah, piye aku iso tresno karo dia. Lagian, Stella luwih ayu berapik-apik ketimbang Riska Zain."
"Kamu ngomong opo, Rik?" seru Pak Andi dari luar kamar Arik. "Papa krungu, Rik, krungu."
Arik terenyak. Tersentak. Termangu. Pikir Arik, ayahnya memiliki pendengaran super, kah? Perasaan volume suaranya tadi tidak kencang-kencang amat. Sudah seyogyanya tidak terdengar hingga luar kamar Arik.
"Buru, Rik!" seru Pak Andi sekali lagi. Sepertinya, dari nada suaranya, ayahnya Arik itu sudah mulai kesal.