Stella mulai mengantuk. Novel itu ia tutup dan taruh di dekat dirinya. Ia menatap ke arah pemandangan kemacetan ala kota metropolitan Jakarta.
"Sabar, Stel," ujar Pahing yang melirik Stella, tersenyum. "Betewe, Stel,..."
"Hmmm..." Hanya itu yang Stella katakan. Ia menatap Pahing, tersenyum, dan melihat deretan mobil-mobil yang terus berdesak-desakan agar segera keluar dari kemacetan.
"...soal curhatan elo itu, yang gue maksud." kata Pahing. "Ini jangan anggep gue manager lu, yah. Anggep aja best friend elo lagi ngomong."
Stella hanya mengangguk.
"Yah, udahlah, kalo bokap lu sibuk, yah, mau apa?!" ujar Pahing agak ketus. "Setiap orang ada masanya, Stel. Belum lagi, yah, mungkin itu yang lu harus korbankan demi kesuksesan-kesuksesan lu di masa depan. Lu kan juga udah seneng, kan, sama masa kecil lu. Ya, udahlah, jangan terjebak di masa lalu gitu."
"Oh, jadi gitu, yah, Mas," respon Stella tersenyum tipis, mendesah, dan kembali menatap lalu lintas Jakarta lagi.
"Semangat, dong, Stel, yang mau go public sama pacarnya yang selama ini cuma bisa backstreet. Eh, doi elo, gue lihat-lihat, cakep juga." Pahing mengepalkan tinjunya. "Cuma perlu dipermak dikit."
Stella sekonyong-konyong--matanya--melotot.
Pahing tertawa terbahak-bahak. "Becanda, Stel. Ya elah, heran dah gue. Udah 2014, masih aja gampang kesetir omongan orang. Lu masih percaya omongan orang-orang di stasiun radio tempo lalu? Ya elah, Stel, gue bukan gay. Gue straight. Laki tulen. Udah punya buntut satu. Masih dikira gay pulak. Gilak elo, Stel!"
"Yah, barangkali itu anak adopsi dari panti asuhan, Mas," ujar Stella cengar-cengir. "Siapa tahu istri lu nggak tahu diam-diam laki-lakinya masih cari,... apa itu namanya, lekong. Kan, sekarang banyak gitu. Pernikahan buat nutupin identitas LGBT-nya. Udah nikah sama lawan jenis--"
Pahing melempar Stella dengan kantong permen yang sebetulnya masih ada permen.
Stella pura-pura kesakitan.