Tak Sambat

Nuel Lubis
Chapter #50

Pening Aku, Amangboru!

"Alat medis juga belum tentu lengkap. Kalau pun ada, jumlahnya bisa jadi nggak banyak. Kalau pasien banyak, butuh waktu juga buat nunggu hasil lab dan radiologi. Belum, kalau nanti si dokter-nya baca hasil, harus nunggu giliran."

"Iya, sih, tapi, yah, mau gimana lagi, kemampuan pelayanan kesehatan kita baru cuma bisa sampai sana aja. Banyak-banyakin pasrah. Ikhlas, terima nasib, deh, hahaha..."

"Tapi, nggak semua rumah sakit kok, Nov. Gue, yah, tahun lalu ngurus apa gitu. Begitu pasien datang masuk IGD, pas dokternya lihat kondisi saudara gue itu, cus, langsung diarahkan untuk CT Scan. Keluarga gue langsung disuruh buat ngurusin administrasinya. Dan, itu bisa pake BPJS, yang lagi sering diomongin."

"Eh, susah nggak sih, ngurus BPJS? Malesin, deh, kalo udah rempong-rempong gitu."

(Tambahan: kartu BPJS resmi dikeluarkan ke hadapan publik di bulan Januari 2014)

"Nggak sih, Nov. Keluarga gue, waktu soal saudara gue itu, diuntungin banget soal BPJS."

Yang bernama Novi langsung mengangguk-anggukan kepalanya.

"T'rus, nggak gitu juga, Nov. Yang gue denger dari anaknya Bu De gue yang jadi TKI di Seoul, ada juga rumah sakit di Korea kayak di Indonesia. Yang di drakor, mah, cuman ditunjukin yang bagus-bagusnya aja. Dipilih yang setting-nya memang rumah sakit yang punya alat lengkap dan dokternya gesit gitu. Padahal, kata sepupu gue, yah, ada aja rumah sakit di Korea yang kondisinya nggak jauh beda sama rumah sakit di Indonesia, yang alatnya nggak lengkap."

Memang dasar si Novi suka melantur. Si Novi malah menanggapi secara berbeda. "Sodara lu itu jadi TKI di Seoul?"

Temannya, Milka, malah menanggapi kata-kata ngawur Novi. Beralih ke topik lain lagi, yang tadi sedang membicarakan perbandingan rumah sakit di Indonesia dan rumah sakit di Korea Selatan. "Iya, emang napa, dah?"

"Majikannya dia itu seganteng idol K-pop, nggak? Cakepan mana sama member-member yang itu?"

"Dih, masih cakepan yang itu, kali. Majikannya sodara gue itu nggak jauh beda sama komedian kebanci-bancian itu. Amit-amit jabang bayi. Dibandingin sama komedian itu, masih lebih ganteng dia, malah."

Temannya yang satu lagi, Mareta, coba membalikkan topik ke topik awal. "Tetangga gue termasuk yang meninggal karena organnya udah pada gagal. Mana dokter ini bisa-bisanya mau pindahin yang bersangkutan ke rumah sakit lain. Udah begitu, mereka malah nggak bisa buru-buru karena katanya lagi weekend. Ibunya meninggal, dong. Mana meninggalnya waktu hari minggu subuh. Nggak ada dua puluh empat jam setelah kunjungan terakhir dokternya. Kasihan, deh, dengernya waktu nyokap gue cerita."

Topik secara drastis berubah lagi. Wah, empat-lima orang perempuan-perempuan berseragam SMA ini benar-benar sudah layak menjadi ibu rumah tangga yang suka bergosip di tukang sayur.

Lihat selengkapnya