Untuk kali ini, Bang Raja tidak menjadi operator warnet dulu. Ia pun sudah menghubungi si empunya warnet bahwa ia memilih untuk mengambil liburan dari pekerjaannya selama bertugas menjaga warnet. Bang Raja beralasan bahwa dirinya sedang memiliki urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Si empunya warnet yang seorang pria Tiongkok berusia di atas lima puluh tahun tertawa. Ujar si engkoh-engkoh, "Hahaha, ya udahlah, Raja, Ai tahu you butuh berlibur. Ai sadar juga, kok jarang banget kasih you kesempatan buat nggak ngejagain warnet ai. Kali ini ai kasih you waktu buat liburan selama beberapa hari. Warnet nanti anak dari adik ai yang jagain."
Bang Raja terbelalak. Tumben Koh Hendrik tidak pelit. Biasanya Koh Hendrik susah diajak kompromi, entah itu persoalan cuti atau minta kenaikan gaji. Semoga saja tidak ada udang di balik batu. Seru Bang Raja yang masih tidak percaya, "Engkoh serius?"
Koh Hendrik mengangguk, tersenyum. "Alah, kapan ai pernah becanda?"
Bang Raja sebetulnya ragu untuk mengucapkannya, namun daripada tidak. Itu lebih baik diucapkan daripada ada rasa yang tertinggal. Ujarnya, "Ini nggak ada udang di balik batu, kan, Koh?"
Eh, Koh Hendrik malah melotot, "Jadi, ambil cuti atau kagak, nih?"
Bang Raja semata-mata mengangguk-nganggukan kepala. Dengan gugup, Bang Raja berkata, "J-j-jadi, K-k-k-koh,"
Koh Hendrik tertawa terbahak-bahak setelah sebelumnya memelototi Bang Raja dengan emosi. "Raja, ai nanya jujur, memangnya ai segitu pelitnya? Kurang peratiin kesejahteraan pekerjanya?"
Bang Raja cengar-cengir. Walau agak takut juga untuk menjawabnya, selain berhubung ia sudah lama menjadi operator warnet, bagi Bang Raja, lebih baik diutarakan daripada dipendam saja. "Hehehehe, yah, menurut engkoh, gimana? Saya ngomong, nanti dipecat lagian. Atau, bayaran saya dikurangin. Cincai, lah, cincai."
Koh Hendrik tergelak. "Lu orang memang karyawan yang ai demen. Dateng nggak pernah telat. Jarang banget berulah. Nggak nyesel ai pekerjakan you, Raja."
Bang Raja menghela napas dan mengelus-ngelus dadanya.