"Hufffttt..."
Bang Raja mengembuskan asap rokok tersebut ke sana, ke mari. Sudah jam sembilan malam, ia masih saja duduk di bangku teras rumahnya. Sesekali Bang Raja meminum kopi yang merupakan oleh-oleh pamannya dari Sumatera Utara. Ia masih saja memikirkan tentang perempuan tersebut. Perempuan yang pamannya kenalkan kepada dirinya. Benar-benar ia merasa kalut sekali. Seringkali juga ia menelan air liurnya.
Dibukanya ponsel yang dari tadi ia letakkan di atas meja teras--berdekatan dengan gelas kopi dan asbak. Asbak itu sudah penuh dengan asap rokok. Entah sudah berapa batang ia coba isap. Begitulah yang terjadi ke Bang Raja jika sedang berbeban berat. Rokok dan kopi pasti menjadi sahabat karibnya. Kopi kesukaan Bang Raja adalah kopi yang masih lembut dan jelas bukan kopi saset yang dijual di warung atau minimarket. Sementara untuk rokok, Bang Raja lebih menyukai rokok berasa menthol.
Bang Raja mendesah, "Grace, Grace, apa maumu? Yah, mbok jangan saya kamu perlakukan seenaknya. Pusing saya, Grace. Pening ini, pening."
Pemuda Batak bermarga Panjaitan itu melihat-lihat foto Grace yang ia simpan di dalam folder fotonya. Sesekali Bang Raja melihat profil WhatsApp perempuan boru Marpaung tersebut. Di saat seperti itulah, ia baru sadar satu hal penting. Selama ini, Bang Raja hanya berhubungan dengan Grace Marpaung di WhatsApp dan SMS. Di luar itu, andaikan Grace memblokir nomornya, matilah si Raja. Skakmat, jika menggunakan istilah catur. Sebab, Grace belum menerima permintaan pertemanan Bang Raja di Facebook. Di Instagram, ia dan Grace belum saling mengikuti perkembangan akun masing-masing. Itu pun termasuk di Tiktok, LinkedIn, dan beberapa media sosial lainnya.
Bang Raja memijat-mijat keningnya. "Babik kali si Yoga itu. Apanya yang sayang sama aku. Kalau beneran sayang, harusnya ada satu social media di mana aku bisa berhubungan lebih dekat sama Grace itu. Ngerjain aku, dia rupanya. Awas juga kalau ketemu nanti, kusemprot habis-habisan si Yoga itu. Atau, besok kusamperin dia saja ke tempat dia bekerja."
Ibunya lewat dan memicingkan mata ke arah Bang Raja, "Raja, ise hamu dohot marhatai?"
Bang Raja menggeleng. "Dang adong, Mak. Ahu dope tarpikkirhon kejadian tadi siang."
Ibunya yang sudah mulai tumbuh uban di rambut keritingnya, duduk di sampingnya. "Unang pikkirhon hata amangboru-mu ni. Unang stress parjolo, gellenghi na hasian."
"Olo, Mak, olo," Bang Raja meminum kopi Simalungun itu lagi.
"Ndang boha ndang hamu marnikah. Marpenting tu hamu, Raja, happy. Aku mau kamu happy, anakku na hasian, Raja Panjaitan. Happy, sonang, bahagia.
(Terjemahannya:
"Raja, kau ngomong sama siapa?"
"Nggak ada, Mak. Aku cuma kepikiran kejadian tadi siang saja."
"Jangan kau pikirkan kata-kata pamanmu itu. Jangan stress dulu, anakku tersayang."
"Iya, Mak, iya."