Arik nyengir saat membaca status Facebook salah seorang teman daringnya, Iyus. Status Iyus itu lumayan bisa mengurangi ketegangan. Apalagi, sekarang ini, Arik sedang berada di daerah SCBD. Tak jauh dari Ritz-Charlton. Yah, dari Ritz-Charlton ke SCBD, kurang lebih waktu tempuhnya itu sekitar sepuluh menit dengan ojek.
"Iyus ini jomblo, kan?" tanya Arik ke dirinya sendiri. "Jomblo begini, kok bisa punya pemahaman cinta koyo gini, toh? Bercintanya di alam mimpi, yo? Wuedan, hahaha..."
Di sebelah Arik, ada seorang pelamar kerja lainnya. Laki-laki, gendut, berkacamata, dan mengenakan setelan jas dan celana panjang yang serba hitam-hitam. Hanya kemejanya saja yang berwarna biru langit. Tadi si laki-laki gendut memperkenalkan diri sebagai Glen.
Tertawa. Iya, Arik tertawa kecil (yang tak berani tertawa terbahak, karena faktor situasi) memperhatikan kelakuan Glen. Entah apa yang didengar Glen, laki-laki gendut itu terlihat asyik berjoget ala boyband Korea, tapi lagu yang didengar Glen itu berbahasa Indonesia.
Arik masih asyik bernostalgia di ddalam bilik nomor satu tersebut. Ia terngiang-ngiang kejadian tempo lalu di kawasan Sudirman Central Business District alias yang biasa disebut sebagai SCBD. Selain harus bertemu dengan Glen, sesama Sarjana Hukum yang seorang penggemar JK Group, Arik ingat bagaimana dia harus bermain kucing-kucingan dengan ayahnya.
Tergelak Arik--yang masih tanpa suara. Masih membekas di dalam benak Arik momen tersebut. Arik mengaku ke Pak Andi hendak ke kampus untuk mengurus legalisasi ijazah sekaligus untuk rapat organisasi (Arik terlibat di Verdictum, organisasi pers mahasiswa di Fakultas Hukum). Yang Arik ingat, dari ekspresinya, kelihatannya Pak Andi sedikit curiga. Namun, Pak Andi tetap memberika izin Arik untuk pergi. Arik lalu pergi ke kampus lengkap dengan kemeja garis-garis biru-putih dan celana bahan berwarna hitam.
Pak Andi lalu bertanya, "Loh, Rik? Nopo pake kemeja? Kamu toh yen ambil ijazah, tok."
"Dosen pembimbing aku ngajak aku ngobrolin bisnis, Pa. Nanti di sana aku toh bakal ngenalin karo dia rumah makan soto kita."
"Oh, gitu. Bener, yo, kamu promosiin. Sama minta ajarin piye carane bikin PT iku. Papa mau ada PT karo merek dagang, Rik. Tolong, Rik."
Arik mengangguk dan segera menyetarter motornya menuju kampus.
Mengingat dialog singkat antara ia dan ayah kandungnya tersebut, Arik kembali terkekeh-kekeh. Kata Arik dalam hati, 'Mungkin sebetulnya Papa tuh udah tau, kali.'
Yang masih menggunakan jasa warnet tersebut, muncul rasa sesal di dalam diri Arik. Bagaimanapun itu ayah kandungnya. Pak Andi pun ayah biologisnya. Berkat sperma Pak Andi (yang membuahi sel telur Bu Rika), Arik bisa terlahir ke dunia ini. Meskipun sering berkonflik dengan ayah kandungnya sendiri (yang bahkan sejak masih SD), Arik yakin ia memang anak kandung Pak Andi Sutiawan.