Tak Sambat

Nuel Lubis
Chapter #66

Mendadak Ditentang

"Bri, sini dulu,"

(Yang diucapkan secara pelafalan orang Tionghoa, yang, maaf, agak cadel. Kedengarannya seperti 'Bli', sapaan orang Bali ke seorang laki-laki)

Brian menghentikan langkahnya. Ia terpaksa berbalik arah dan beringsut ke arah ayahnya. Walau masih jengkel dan sepertinya mengetahui kenapa dipanggil, ia masih tetap mengusahakan untuk tersenyum ke arah ayahnya tersebut.

Ayahnya Brian, Pak Hendra Hendarawan, menghentikan aktivitas memasak. Ia meminta karyawannya untuk menggantikannya memasak pesanan pelanggan. Hari sabtu ini, rumah makan Chinese Food itu cukup dipadat. Tadi saja Pak Hendra lumayan kewalahan dalam meladeni setiap pesanan.

"Ikut Papa dulu ke atas." ujar Pak Hendra pelan. Raut muka Pak Hendra agak tegang. Muncul kerutan di pipi-pipinya.

Brian mengikuti ayahnya ke lantai dua lagi.

Seperti kebanyakan rumah kediaman orang Tionghoa-Indonesia, begitulah juga rumah yang didiami oleh keluarga Hendarawan. Lantai satu atau dasar untuk tempat usaha. Sementara, di atasnya, diperuntukkan sebagai tempat tinggal. Kamar Brian berada di lantai tiga--yang merupakan lantai paling atas.

Di dekat televisi, Pak Hendra mengajak Brian untuk duduk di atas sofa yang sudah kumal. Banyak tambalan di sofa tersebut. Televisi dimatikan. Adiknya Brian yang masih SMP disuruh ke kamarnya yang berada di lantai tiga pula.

"Ada apa, Pa?" tanya Brian menelan saliva. "Serius amat."

"Gimana kuliah kamu di Sastra Jepang?" tanya balik Pak Hendra.

"Yah, gitu-gitu aja, sih."

"Sebetulnya Papa rada keberatan anak Papa kuliah di Sastra Jepang."

Brian mulai tegang. Dahinya mulai terlihat mengilat. Dari tadi kedua kakinya seperti sedang melalukan tap dance.

"Mau jadi apa kuliah di sana? Mending kamu kuliah di Manajemen atau Akuntansi, Brian. Lebih terjamin. Bisa bantu kembangin rumah makan Chinese Food kita ini. Atau, sekalian kuliah di fakultas Hukum. Siapa tahu bisa bantu Papa bangun kerajaan bisnis Papa, biar bisa macam Liem Seeng Tee itu."

Brian hanya angguk kepala. Dalam hati, ia mengeluh, 'Yah, aku nggak minat, kali, Pa, kuliah di sana. Aku pengin ke Jepang. Jadi animator atau komikus.'

"Kalau kamu kuliah Akuntansi, bisa jadi akuntan publik. Lebih menjanjikan, kata temannya Papa. Bisa bantu agar rumah makan ini bisa lebih profesional lagi. Papa sudah lama pengin renovasi, tapi belum ada duit, Bri."

Kembali Brian mengangguk saja.

"Kamu denger Papa, kan?"

"Denger, Pa."

"Oh iya, kata adikmu, kamu ada pacar sekarang, yah."

"I-iya."

"Orang apa dia?"

Lihat selengkapnya