"...O Holy night
The stars are brightly shining
It is the night of our dear Saviour's birth
Long lay the world in sin and error pining
'Til He appeared and the soul felt its worth..."
Memang sengaja Arik datang lebih dahulu. Ini untuk kali pertama ia tidak menghadiri misa Natal bersama keluarganya. Kali ini, di tahun ini, ia lebih memilih untuk merayakan Natal bersama pasangannya, Stella. Ia pun tiba di gereja bersamaan dengan sekelompok remaja sedang berlatih paduan suara.
Arik sebetulnya senang sekali bisa mengikuti misa Natal bersama Stella. Biasanya ia merayakannya bersama keluarga kandungnya. Seperti nyaris tujuh tahun yang lalu, yang sebelum Stella minggat ke Amerika Serikat, di sore hari Arik bersama keluarganya beribadah di gereja. Malamnya, ia dan Stella webcam-an.
Ide untuk merayakan Natal bersama Stella, itu tidak serta merta datang dari kepala Arik. Tidak seperti itu. Yah, memang Arik ini kreatif bin nyentrik. Namun, ide itu justru datang dari manager Stella, Pahing. Pahing yang mengusulkan agar Arik dan Stella sebaiknya merayakan Natal bersama. Demi apa? Demi memuaskan hasrat para penggemar Stella. Demi publikasi pula. Yang ujung-ujungnya nama manajemen itu terangkat juga. Kalau sudah terangkat, kebanjiran orderan. Talent berdatangan. Kesempatan demi kesempatan berhamburan ke arah Pahing Creative and Management. Oh, itu bukanlah sesuatu yang bersifat materialistik. Sesuatu yang sudah bertujuan untuk meraup uang sebanyak-banyaknya, itu pastilah terpikirkan untuk bagaimana caranya tetap eksis dan mendulang laba. Lagi pula, hei, Pahing Creative and Management itu bukanlah sebuah organisasi nirlaba, walaupun mereka sering terlibat dalam beberapa kegiatan amal.
"Hei,"
Arik tersentak. Ia pikir itu Stella. Ketika ia menoleh ke arah suara dari pandangannya yang sebelumnya ke arah pohon cemara yang dihias agar mengingatkan para umat akan white christmas.
"Arik, kan?" tanya seorang perempuan yang membuat Arik mengernyitkan dahi. Arik sepertinya mengenali si perempuan. Ini seperti teman perempuannya yang bukan sekadar teman perempuan.
Di benak Arik, samar-samar teringat kejadian kurang menyenangkan yang pernah ia alami. Apakah itu bisa disebut sebagai putus cinta? Yang jelas itu, saat itu, Arik benar-benar marah ke Ayu. Betapa tega Ayu yang tidak berkonsultasi dulu dengan rencana Ayu berkuliah ke Jepang.
"Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di gereja ini."
"Ayu, kan?" tanya Arik untuk memastikan.