Iyus kini berada di atas motor. Ia sedang mengendarai motor bebek sepanjang Jalan S. Parman yang masuk wilayah yurisdiksi Jakarta Barat. Jalan S. Parman tidak terlalu macet, tapi tak terlalu lenggang pula. Yang cukup macet itu biasanya terjadi di bawah jalan layang, yang tak jauh dari sebuah mal sekaligus tempat hunian (konon itu sebuah apartemen). Di situlah, Iyus terjebak macet.
Dari balik helm, Iyus coba memperhatikan ke arah sekelilingnya. Ada pengemis yang menghampirinya. Karena tak tersedia uang receh di kantung celana maupun kemeja, terpaksa ia memberikan gestur kepada pengemis tersebut bahwa dirinya tak bisa memberikan sedekah. Pengemis yang berupa ibu-ibu berkerudung itu segera melipir dan menghampiri kendaraan truk berukuran sedang yang berada di belakang Iyus. Ia mengintip dari kaca spion sebelah kanan. Ternyata sopir truk itu memberikan sedekah kepada pengemis tersebut.
Iyus tersenyum memandangi aksi sopir truk yang memberikan sedekah kepada seorang ibu pengemis yang sepertinya berusia lebih tua dari ibu kandungnya. Entah mengapa pemandangan itu cukup berkesan bagi seorang Iyus Kurniawan.
Selanjutnya ada seorang pedagang asongan yang mendekati Iyus. Pedagang asongan itu menawarkan kotak kanebo. Iyus langsung menolak dengan berkata, "Nggak dulu, Bang. Di rumah, masih ada."
Seperti si ibu pengemis, pedagang asongan itu meninggalkan Iyus. Lagi-lagi Iyus mengintip ke arah belakang. Si sopir truk membeli kanebo dari pedagang asongan. Tak hanya satu, tapi juga membeli sebanyak tiga buah. Sekali lagi, Iyus cukup terkesima dengan pemandangan tersebut. Mungkin bagi sebagian besar orang, itu sungguh pemandangan yang luar biasa. Namun, tidak untuk Iyus. Bagi Iyus, itu sebuah pemandangan yang cukup langka.
Ada alasannya mengapa Iyus begitu terpukau dengan apa yang dilihatnya dari sopir truk berukuran sedang, yang sepertinya kendaraan ekspedisi. Sebab, sejak terjebak macet selama kurang lebih hampir lima menit, Iyus cukup memperhatikan apa yang dilakukan si sopir dan temannya ke orang-orang yang menghampiri mereka di jalan. Mereka berdua cukup sering memberikan sesuatu ke sesama yang berada di sekitar mereka. Ada pengemis, mereka berikan sedekah. Mereka pun sering beberapa kali membuka jendela hanya untuk membeli kanebo, koran, tahu goreng, sebotol air mineral, hingga, yang Iyus ingat tadi, mereka bahkan membeli bajaj mainan. Tebersit di pikiran Iyus untuk coba membedah kehidupan si sopir dan temannya.
Padahal hanya sopir ekspedisi, mereka berdua terlihat royal di jalan. Apa nanti di ruas jalan selanjutnya, mereka masih akan tetap mengeluarkan uang untuk orang-orang yang menghampiri mereka? Berapa pula gaji seorang sopir ekspedisi?
Iyus terkekeh-kekeh di balik helm. Ia teringat kata-kata Bang Raja beberapa minggu lalu. Itu terjadi awal tahun lalu sebelum Iyus lulus SMA. Seingat Iyus, Bang Raja pernah berkata seperti ini, "Jangan salah, Yus. Meski nggak sebesar para pekerja korporat, gaji sopir ekspedisi itu nggak kecil-kecil amat. Makanya ada teman gue yang pindah dari bawa angkot, jadi sopir kendaraan ekspedisi. Apalagi, yang bawa kendaraan-kendaraan berat yang suka lihat di jalan tol itu. Nggak kecil itu, Yus."
Iyus terkekeh-kekeh dan berujar pelan, "Apa gue coba aja jadi sopir ekspedisi, yah?"
Lampu berubah menjadi hijau. Iyus bersiap mengegas motor bebeknya yang kurang lebih memiliki CC sebesar 50 CC. Dengan keterampilan mengendarai motor yang makin lama makin lihai, Iyus membuat motor bebek itu meliuk-liuk di antara para pengguna jalan. Tak peduli ada beberapa motor yang menyalakan klakson. Yang ia pedulikan hanya satu. Itu adalah agar cepat sampai di lapo milik Bang Raja.
Namun Iyus sempat melihat ke arah trotoar yang berada di sebelah kiri. Ternyata pedagang bubur kacang hijau masih berjualan, walaupun sudah di atas pukul dua belas malam. Iyus coba menyapa, dan beruntungnya, si pedagang itu seperti menyadari ada Iyus di sekitar dirinya. Pedagang itu balas menyapa dan tersenyum.