Tak Sambat

Nuel Lubis
Chapter #121

Iyus Tambah Mumet

"Kadang gue mikir, Yus, apa setiap manusia cenderung seperti itu?"

"Maksudnya, Bang?"

"Iya, apa manusia seperti itu, cenderung datang ke sesamanya kalau ada maunya saja? Pusing daku, Yus. Kepala daku terasa penat sekali dengan fenomena yang seperti itu."

Iyus tertawa di tengah-tengah ramainya Taman Senopati. Teringat lagi kejadian saat ia masih di warnetnya Koh Hendrik. Di luar cara berbicara Wawan yang sok sastrawan, harus ia akui kata-kata Wawan itu sangat luar biasa. Cukup menampar dirinya pula.

Berjalan-jalan Iyus di antara pepohonan. Ia melewati beberapa pasangan muda-mudi yang sedang berpacaran. Untuk sore ini, ia tak mempermasalahkan mengenai kelajangannya. Ia bahkan bisa melewati pasangan-pasangan tersebut tanpa merasa terusik. Justru yang membuat Iyus agak terusik adalah keberadaan orang-orang yang mengalungi kamera DSLR. Ada secercah rasa iri dalam diri Iyus.

Baru kali ini Iyus merasa sesuatu sekali terhadap aktivitas bernama memotret. Kelihatannya menyenangkan sekali, bisa mengambil gambar dengan kamera DSLR. Tentunya sensasinya berbeda dengan memotret menggunakan ponsel berkamera.

Iyus menghela nafas. Diraihnya ponsel yang tadi ia letakkan di dalam saku jaketnya. Ia melihat-lihat lagi obrolan dengan beberapa orang. Yang salah satunya itu saat sedang mengobrol dengan ayah atau ibunya. Jatuh lagi air mata dari dalam matanya. Sejak kemarin, ia mendadak rapuh dari biasanya.

"Pengin sih punya kamera model gitu," desis Iyus yang masih memperhatikan salah seorang pengunjung Taman Senopati yang memotret beberapa obyek. "Tapi, nggak enak, ah, sama kondisi nyokap. Buat penyembuhan kanker gitu, pasti butuh biaya gede."

Sekali lagi Iyus menarik nafas lebar. Ia berhenti sejenak. Duduklah ia di salah satu bangku taman. Ia buka ransel dan mengambil sebotol air mineral. Ia minum dulu sebelum mengambil selembar tisu dari dari salah satu kantung ransel. Dielapnya permukaan wajahnya yang terkena air mata. Lalu kedua matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Iyus hanya memperhatikan. Tanpa senyuman. Selama beberapa menit. Mungkin ada sekitar lima belas menit, ia seperti itu. Banyak pula hal-hal yang terjadi di dekatnya. Ada anak perempuan berusia taman kanak-kanak, yang sedang bermain ayunan. Tak jauh dari sana, seorang pengamen menunjukkan keahliannya bermain biola di hadapan sepasang kekasih. Saking bagusnya bermain biola, sepasang kekasih itu meminta dimainkan sebuah lagu cinta dari salah satu film pemenang penghargaan di industri perfilman di negara Amerika Serikat.

"Semoga langgeng, dan bisa nikah, Mas, Mbak," kata si pengamen yang bergerak ke arah Iyus.

Iyus membiarkan si pengamen itu bermain biola. Yang ia sebetulnya kaget juga. Lagu yang dimainkan si pengamen tersebut bertema ibu. Sesenggukan ia dibuat si pengamen.

"Loh, kok nangis, Mas?" tanya si pengamen terkekeh-kekeh.

Lihat selengkapnya