Datang juga hari itu. Hari operasi pengangkatan payudara Ibu Rena datang juga. Sebetulnya Ibu Rena--nama asli ibunya Iyus--sudah berada di rumah sakit sejak tiga hari lalu. Iyus sebentar menemani ibunya sebelum operasi. Iyus masih saja enggan untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Menurutnya, tidak etis dirinya mengikuti tes di saat ibunya berjuang di meja operasi.
Ibu Rena menggeleng mantap di atas tempat tidur. Ujarnya tegas, "Nggak! Kamu tetap harus ikut tes itu besok!"
Iyus segera menghela nafas dan tersenyum. Sebelum meninggalkan ruang inap rumah sakit, ia memberikan senyuman kepada kedua orangtuanya. Ia lalu melangkahkan kaki keluar. Tadi ia sudah meminta izin untuk turun ke lantai dasar. Di sana ada kafetaria. Ia mau menenangkan diri sebentar di kafeteria. Buku pun sudah ia bawa sejak masih di rumah. Sembari makan, sembari mencicipi kuliner yang tersaji di kafetaria rumah sakit.
Saat Iyus meninggalkan ruang inap tersebut, selain ada Pak Candra dan Ibu Rena, ada sanak saudara yang datang. Sekitar lima orang yang datang; dan itu datang dari keluarga besar Pak Candra. Terdiri dari sang kepala keluarga, istrinya, dan ketiga anaknya yang tiga-tiganya berusia lebih muda dari Iyus. Wajar saja. Karena yang datang merupakan adik Pak Candra. Menikahinya agak telat.
Semenjak kemarin lusa, belum ada satu pun sanak saudara dari keluarga Ibu Rena. Itu termasuk ibunya Stella, Ibu Tieneke. Namun Ibu Rena tidak keberatan. Tidak apa-apa jika tidak menjenguk. Walaupun demikian, kehadiran anggota keluarga sendiri di saat-saat kritis, pasti sangat dibutuhkan. Tidak ditunjukkan bukan berarti tidak kenapa-napa. Ibu Rena ternyata jenis orang yang tidak terlalu suka memperlihatkan kesukarannya secara kasatmata.
Sementara itu, sambil menenteng ransel, lalu sebuah buku menarik di salah satu tangannya, Iyus sudah berada di depan meja kasir. Ia sudah memegang nampan berisi sepiring Croissant dan segelas Green Tea. Di depan kasir, ia menyerahkan uang yang tadi ia terima dari ibu kandungnya tersebut. Sebetulnya ia tak enak hati untuk menerima pemberian ibunya. Bagaimanapun uang dari hasil kerjanya menjadi operator warnet, itu masih ada. Jangan berpikiran begitu dulu. Begini-begini seorang Iyus Kurniawan memiliki rekening bank dan kartu debet.
Iyus menghela nafas. Daripada menggunakan uang pemberian ibunya, ada cara pembayaran yang jauh lebih baik. Ia langsung mengeluarkan kartu debet dan berkata kepada kasir yang seorang perempuan--yang tampaknya sebaya Iyus, "Bisa gesek?"
"Bisa." jawab si perempuan kasir tersenyum. Ia segera menerima kartu debet tersebut dan menyelesaikan pembayaran.
Kartu itu digesek. Iyus sangat bersyukur. Ternyata saldonya masih ada. Setelah dipikir-pikir sekali lagi, memang ia tak boros. Selama ini lebih sering menggunakan kartu debet demi biaya pemeliharaan sepeda motornya. Itu pun tak terlalu memakan banyak biaya. Sudah sering disokong dana oleh Pak Candra pula.
Setelah pembayaran selesai, Iyus berjalan menuju bangku yang masih kosong. Ternyata bangku kosong itu berada di pojok kafetaria. Wah, beruntung sekali Iyus. Duduk di pojok itu cukup cocok dilakukan oleh mereka yang memiliki beban di dalam pikirannya. Duduk sendiri di pojokan, lalu mengamati sekeliling, menekuri apa yang terlihat, wah, itulah yang Iyus ingin alami.