Ada sedikit perubahan rencana. Semacam plot twist juga di dalam novel "Tak Sambat" ini. Di detak-detik terakhir, saat pengambilan formulir, Iyus memutuskan untuk memilih fakultas Hukum sebagai pilihannya di kampus tersebut. Alasannya konyol. Itu karena calon abang iparnya, Arik Sutiawan, yang memang lulusan fakultas Hukum. Alasan lainnya adalah sebuah acara debat politik dan hukum yang melibatkan para praktisi di bidang hukum dan politik. Iyus merasa terpanggil untuk mempelajari Hukum. Terpikirkan juga kelak bisa saja ia akan lebih sering bekerjasama dengan Arik, yang didaulat Pak Andi sebagai chef executive ordinary--yang disingkat sebagai CEO.
Masih di hari yang sama, Ibu Rena sedang menjalani operasi pengangkatan payudara. Waktunya bahkan bersamaan dengan pelaksanaan tes masuk perguruan tinggi yang sedang diikuti oleh Iyus. Sebetulnya Iyus enggan, tapi Ibu Rena terus saja mendesak Iyus untuk mengikuti tes tersebut. Saat Iyus sudah berada di dalam ruangan ujian, Ibu Rena sedang dibawa menuju ruang operasi. Sebelum mengerjakan soal-soalnya, Iyus berdoa dan doanya sangat campur aduk. Bercampur pula dengan kegelisahan Iyus yang sepertinya sangat tidak siap untuk mengikuti ujian. Dalam hati Iyus berharap apakah mungkin dua doanya terjawab. Antara Iyus bisa kuliah semester depan nanti dan ibunya bisa menjalani operasinya dengan sukses. Jika diharuskan memilih, tentu saja Iyus memilih pilihan operasi ibunya berjalan dengan sukses. Biarlah Iyus tidak kuliah dan kembali melanjutkan kegiatannya sebagai seorang operator warnet. Toh, bekerja sebagai penjaga warnet itu bukanlah pekerjaan kotor. Bahkan hanya berada di sebuah warnet, Iyus sudah lima kali berjumpa dengan selebrita. Yang salah satunya adalah keponakannya Dario Tabah, motivator terkenal itu, yang konon memiliki anak di luar nikah dari selingkuhannya yang seorang biduan dangdut.
Iyus sama sekali sulit berkonsentrasi dalam mengerjakan soal-soal Psikotes. Padahal tiga hari yang lalu, ia cukup mantap menyelesaikan soal-soal Psikotes dari Buku Psikotes Agar Kamu Lulus Tes. Namun, sekarang, betapa sulitnya Iyus menyelesaikan soal-soal Psikotes. Bayangan wajah Ibu Rena terus menerus menghantuinya saat dirinya sedang mengerjakan soal. Untungnya ia berhasil mengerjakan nyaris seluruh soal sebelum waktu pelaksanaan ujian berakhir.
"Segera kumpulkan," seru pengawas ujian yang tadi mengaku dirinya seorang dosen Pancasila di kampus tersebut. "Waktunya berakhir."
Dengan gontai, Iyus berjalan ke arah kursi pengawas. Ia menyempatkan diri untuk menyelesaikan soal-soal terakhir. Sang pengawas berdeham untuk memperingatkan Iyus bahwa waktunya sudah berakhir. Iyus segera menyerahkan dua lembar soal kepada pengawas tersebut. Selanjutnya Iyus meninggalkan ruang ujian dengan cukup pasrah.
Sulit membayangkan wajah Iyus pasca ujian Psikotes tadi. Pokoknya, campur aduk. Ada rasa gelisah, pusing, kesal, hingga puas. Gelisah yang memikirkan kondisi ibunya di ruang operasi. Pusing akibat soal-soal tersebut. Kesal karena ada beberapa soal yang Iyus heran mengapa sulit sekali. Puas karena bisa menyelesaikan separuh dari soal ujian.
Tes berikutnya adalah wawancara, yang dilaksanakan di gedung yang berbeda. Iyus bergegas menuju tempat berlangsungnya tes wawancara. Namun, sebelumnya ia bergerak ke kantin dahulu. Perutnya cukup keroncongan. Selama perjalanan menuju kantin kampus, kedua mata Iyus mengedarkan pandangan ke arah sekelilingnya. Ternyata banyak juga calon mahasiswa yang mengikuti tes masuk di sini. Apalagi, Iyus baru sadar kampus ini cukup bersejarah dan ternama di Indonesia. Pendirinya adalah seorang berdarah Tionghoa. Kampus itu bahkan ikut berjuang untuk satu pergerakan yang cukup revolusioner di tahun 1998.
Iyus menyempatkan diri untuk memandangi monumen kecil sang pendiri. Kedua matanya nyaris meneteskan air mata. Padahal ia pun sama sekali tak mengenal sosok pendiri kampus, meskipun dirinya memiliki darah Tionghoa.