Sudah di atas jam sembilan malam, Iyus belum kunjung tidur. Ada sesuatu hal yang bergejolak di kepalanya. Itu membuatnya uring-uringan. Apalagi, bukan wacana pula. Sebagian sudah terjadi. Yang sudah terjadi itu, bukannya membuat dirinya senang bukan kepalang, itu malah membuat ia pusing.
Rambutnya yang sudah agak lebat, diacak-acak. Saking gelisahnya, Iyus menggigit bibir bawah. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Maju-mundur seperti tangan seseorang yang sedang menyeterika pakaian. Lalu, ia kembali duduk. Namun sebelumnya ia melepaskan dahulu kabel cas dari lubang stop kontak.
Di atas tempat tidur, Iyus terduduk dalam keheningan. Tidak seratus persen hening. Di luar kamar Iyus, kelihatannya kedua orangtuanya masih sedang menonton televisi. Dari suaranya, Iyus sudah bisa menebak apa yang ditonton. Acara gelar wicara berbau politik dan hukum yang dipandu oleh Bung Barney Albar yang mengenakan kacamata agak lucu, karena sering melorot. Terdengar celotehan antara Pak Candra dan Bu Rena.
"Ini sadis, si Barney ini," kata Pak Candra yang mengucapkan Barney sesuai dengan pelafalan orang Indonesia pada umumnya. "Kalau bertanya, tidak kira-kira. Tapi aku suka dengan caranya memandu jalannya diskusi."
"Bukannya Barney, Pa," ralat Bu Rena. "tapi Barni. Ney-nya dibaca Ni."
"Sama saja, toh," bantah Pak Candra merasa benar. "Mau Barney, mau Barni, sama saja menurutku. Kata pujangga dari Inggris itu, apalah arti sebuah nama."
Bu Rena cekikikan. "Terserah kamu, lah."
Selanjutnya, kembali hening. Iyus ingin memastikan apa yang terjadi selanjutnya. Namun, sebaiknya tidak perlu. Sebab, sudah terdengar suara bising dari dapur. Pasti ibunya agak jengah dengan sifat ngotot ayahnya, lalu memutuskan pergi ke dapur. Sejak Iyus masih kecil, begitulah kedua orangtuanya. Mereka suka meributkan hal-hal sepele, tapi tidak pernah sampai menimbulkan huru-hara. Keributan kecil di dalam rumah tangga, menurut artikel yang Iyus baca di internet, hal lumrah.
Iyus kembali mondar-mandir tak keruan. Lalu ia duduk di atas tempat tidur. Ia menyalakan ponsel yang dari tadi ia pegang. Dibukanya folder foto. Ia melirik potret wajah Becky dan Cindy dalam satu kolase. Kedua foto perempuan itu diambil dari akun Twitter masing-masing. Sembari menghela nafas, Iyus memandangi potret dua orang perempuan yang sudah membuat dirinya kalang kabut.
Seharusnya Iyus senang dengan keputusan Cindy Montolulu menjadikan dirinya kekasih, walaupun hanya kekasih rahasia. Selain Cindy Montolulu itu seorang figur publik, ia sesungguhnya mengakhiri masa lajangnya. Ia pun bisa merasakan indahnya kencan dengan lawan jenis. Tak bisa lepas dari pikirannya, saat bibirnya mengecup pipi Cindy yang tembam. Sedikit lagi, Iyus akan merasakan indahnya ciuman pertama.
Sudah selayaknya Iyus bahagia. Seharusnya begitu. Namun, ini tidak. Penyebabnya karena kejadian tadi siang di warnetnya Koh Hendrik. Pesan Facebook itu sendiri sudah ada di kotak pesan Facebook sekitar hampir dua minggu. Hal yang wajar jika Iyus tidak membuka akun Facebook miliknya. Ada dua hal yang mengusik pikirannya. Yang pertama, tes masuk perguruan tinggi. Yang kedua, operasi pengangkatan payudara ibunya.
"Eh, mau ketemu nggak? Aku kebetulan lagi di Jakarta ini. Penasaran sama wajah kamu."
Iyus menyempatkan diri untuk membaca pesan Becky itu lagi. Kondisi akun Facebook kali ini masih dalam keadaan log in. Di saat itu, ia beralih ke folder foto lagi. Dipandangi sekali lagi, foto kolase tersebut. Kepalanya kembali pusing. Jantungnya berdebar-debar.
Di bawah pesan pertama dari Becky itu, ada nomor. Becky ternyata memberikan nomor ponselnya kepada Iyus. Tanpa pikir panjang lagi, Iyus segera menyimpan nomor Becky ke daftar kontak. Nomor itu kini ganti dipandangi Iyus. Sejak disimpan tadi siang, belum juga dijajal oleh Iyus. Iyus bingung juga harus memberikan pesan yang seperti apa. Ditambah lagi, ia terpikirkan akan Cindy Montolulu. Tiba-tiba pula, ia merasa dirinya sedang menyelingkuhi Cindy Montolulu.