Semalam itu--untuk seorang Arik Sutiawan--bagaikan mimpi buruk. Malah Arik tidak merasa kejadian Stella meneleponnya malam-malam itu sebagai sebuah kejadian di dunia nyata. Sampai-sampai Arik menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah pasar rawit sebelum bergegas menuju Sutiawan Soto. Di dalam pasar rawit tersebut, Arik membeli sebotol kopi kaleng dan beberapa buah donat dengan warna krim yang sungguh mengunggah selera.
Arik lalu duduk di bangku yang masih tersedia. Posisinya duduk tak jauh dari pintu masuk dan masih bisa memperhatikan motor skuternya yang terparkir tak jauh dari bangku di mana Arik duduk.
Langsung saja Arik membuka kopi kaleng tersebut. Ia sesenggukan. Jarang-jarang seorang Arik Sutiawan menangis. Apalagi menangisi seorang perempuan yang jelas-jelas sudah berkata ingin mengakhiri hubungan.
Kopi kaleng itu ditenggak ke dalam kerongkongan Arik. Sembari menyesap, ia teringat kejadian semalam. Ah, ternyata itu nyata. Senyata embusan udara di pagi hari ini. Senyata pula suara lalu lalang kendaraan bermotor di jalan dekat pasar rawit tersebut.
Arik coba mengingat kejadian semalam dan mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi.
***
"Belum tidur, kan?"
"Baru mau tidur aku, Baby."
"Aku ada yang mau diomongin, Arik."
Dag-dig-dug!
Arik menjawab sekenanya dengan suasana hati langsung berantakan, "Soal?"
"Gini, Rik," Terdengar suara desahan Stella di sana.
Dug, dug, dug.
"Kalau kupikir-pikir, ada baiknya kita break aja dulu."
"Break? Maksute opo? Bukannya putus, kan?"
Terdengar suara Stella mendesah lagi. "Iya, putus aja."
"Nanging piye? Eh, maksudnya aku, kenapa tapi?"
"Kamu tahu, kan, pacaran itu ujung-ujungnya menikah?"