Tadi Arik sudah minta izin ke Tomo untuk tidak ke Sutiawan Soto hari ini. Begitu terima telepon dari Mas Pahing, Arik langsung uring-uringan tak menentu. Gara-gara itu, penyakit asam lambungnya kumat. Perut Arik melilit parah. Sampai-sampai Arik langsung lari ke toilet pasar rawit tersebut.
Akan tetapi, Arik belum memberitahukan alasan sebenarnya ke Tomo kenapa dirinya tidak pergi me Sutiawan Soto. Ia hanya bilang sedang ada urusan sejenak dan itu berkaitan ke rumah makan turun temurun keluarga Sutiawan. Pokoknya, hari ini Arik memutuskan untuk tidak ke Sutiawan Soto dan berencana memulihkan dirinya sendiri dengan melancong entah ke mana.
Sekarang Arik sudah berada di depan sebuah warnet. Warnetnya Koh Hendrik. Tahun lalu ia pernah ke sini. Kalau tidak salah, operatornya masih Bang Raja. Itu sesudah acara Black-White tersebut. Mengingat itu, Arik langsung termehek-mehek. Kedua matanya cukup sembap. Sampai-sampai Arik tak sadar kedua matanya agak bengkak karena agak sering menangis.
Arik mengintip dulu ke dalam warnet dari balik dinding kaca film berwarna gelap. Yang dari luar, tak bisa melihat ke arah dalam. Namun, orang-orang di dalam warnet bisa melihat hal-hal yang terjadi di luar warnet. Ternyata tidak ada ada Iyus. Operator berdarah Batak itu pun tak ada di sana. Yang ada, seorang pemuda berambut gondrong yang Arik tak kenal siapa.
Sebelum masuk, Arik mengembuskan nafas. Barulah ia masuk ke dalam warnet. Ia hampiri operator warnet berambut gondrong tersebut. Langsung ia bilang, mau menyewa salah satu komputer. Operator berambut gondrong segera mengarahkan Arik ke bilik komputer yang masih tersedia.
"Habis nangis, Bang?" tanya si operator warnet yang sebetulnya bernama Wawan.
Jelas Arik tak tahu Wawan. Yang Arik tahu operator-operator warnet di warnetnya Koh Hendrik adalah Bang Raja dan Iyus. Setiap Arik ke warnetnya Koh Hendrik, tak ada Wawan.
Arik hanya mengangguk. Sembari hidungnya menarik-narik lendir hidung.
"Diputusin cewek?" pancing Wawan nyengir. "Atau baru ditolak cewek?"
Arik hanya terkekeh-kekeh dan bersiap menuju komputer yang sudah dipilihkan untuk dirinya.
"Laki-laki itu harus kuat, Bang," kata Wawan nyengir dan sok bijak sekali nada bicaranya. "Daku--sebelum menikah--bodoh amat ditolak perempuan. Ibarat kata, nih, Bang, mati satu, tumbuh seribu. Dikau pun harus demikian. Harus bermental pejuang 45 di medan perang. Yang mati satu, tumbuh seribu. Perempuan itu begitu bertebaran di langit laksana bintang-bintang di langit malam. Ditolak satu perempuan, masih tersedia perempuan-perempuan lainnya."
Astaga, bukan Iyus saja yang melilit saat mendengar gaya bahasa sok pujangga Wawan. Arik pun sama. Asam lambung Arik kambuh. Mendadak Arik ingin buang air besar.
"Mas'e," kata Arik memegang perutnya. "toilet nang endi?"
"Abang keluar dulu dari warnet," kata Wawan yang spontan berdiri. "nanti belok kiri, terus, lurus aja. Kan, ada lift. Naik aja. Nanti turun di lantai tiga. Toiletnya ada di seberang toko plastik."
Arik mengangguk dan meninggalkan sebentar warnet demi ke toilet. Ia berjalan menyusuri jalan-jalan yang tadi ditunjukkan oleh Wawan tadi. Di dalam lift, ia menangis sembari memegangi perutnya yang masih melilit gara-gara gaya bahasa aneh Wawan yang sok pujangga. Untung saja kondisi lift sedang kosong. Hanya ada Arik yang berada di dalam lift.
Sembari memegangi dada dan perut, Arik teringat peristiwa malam itu. Saat Arik akhirnya ditelepon Stella. Bukan untuk bermesra-mesraan, melainkan untuk minta putus.
"Stel..." kata Arik merintih-rintih. "Sampeyan tego bener karo aku."
***