Baru saja hendak tidur, Iyus terpaksa menunda aktivitas tidurnya. Padahal sudah sekitar jam sepuluh malam. Tadi, di atas jam enam sore, ibunya baru saja pulang. Diantar oleh keluarganya Tante Tieneke. Iyus terkadang heran sendiri dengan ibunya. Ibunya sering terlihat tidak ada apa-apa. Padahal, Iyus tahu, di balik senyuman ibunya tersebut, tersimpan banyak kemelut. Makanya, sebisa mungkin, Iyus berusaha menjadi anak baik-baik, agar selalu melihat senyuman baik-baik--dan tanpa masalah--dari ibu kandungnya.
Yang menelepon ternyata seseorang yang Iyus rindukan setengah mati. Sejak skandal itu, ia dan perempuan itu seolah-olah sedang coba dipisahkan terus menerus.
Eh, sebentar, Iyus mulai mengernyitkan dahi. Ia jauhkan dulu posisi penyuara ponsel dari telinganya. "Dia tahu dari mana nomor aku?"
"Halo, ini Iyus, kan?" Si perempuan itu kembali memanggil-manggil.
"E-e-eh..." Iyus seketika gelagapan. "I-ini beneran aku, kok, Bacin. Kamu tahu dari mana nomor aku?"
"Sebelum dihapus manajemen, aku langsung buru-buru simpan dulu nomor kamu di buku catatan aku."
Iyus langsung terlampau percaya diri. Bayangkan saja, nomor kita disimpan artis, artisnya perempuan, cukup terkenal, wow, laki-laki mana pun akan terpikirkan bermalam-malam.
"Kamu gimana kabar?"
"B-baik, Bacin..."
"Hahaha... masih ingat aja sapaan itu. Aku aja udah lupa, kamu dulu kupanggil apa. Panggil aja Cindy. Atau, panggil Gras juga nggak apa-apa."
Hahaha... kamu dulu manggil aku Kuyang, Cindy."
"Dih, serius? Seram banget?"
"Yah, ampun, cantik-cantik, masih remaja juga, udah cepat pikun, Neng."
"Dih, apaan lagi? Yah, kan, aku sibuk banget. Sibuk di sekolah. Sibuk di Ballroom. Harus ngapalin pelajaran-pelajaran sekolah. Belum lagi, harus ngapalin blocking-an. Nggak sempat, lah, harus ingat juga yang begituan."
Iyus menghela nafas. Ada semacam rasa sakit hati saat mendengar perempuan yang ia sukai, berkata seperti itu. Secepat itukah dilupakan Cindy Montolulu?
Padahal untuk Iyus, setiap momen bersama Cindy Montolulu, itu selalu spesial. Sulit Iyus lupakan momen demi momen. Yang di restoran. Yang di kafe. Yang di Sutiawan Soto. Yang di stadion. Dan lain-lain. Namun, ternyata momen-momen itu sepertinya sepele untuk seorang Cindy Montolulu.
"Sorry,"
"Sorry buat apa, Cindy?"
"Buat kata-kata aku yang tadi, Yus," Cindy terdengar sedang buang nafas. "Aku cuma pengin, yah, nggak terlalu pengin ingat-ingat kejadian-kejadian yang buruk-buruk."
Iyus menelan ludah dulu sebelum berkata, "Kayaknya aku bisa ngerti. Nggak apa-apa. Kalau di posisi kamu, aku juga bakal nggak akan sering ingat-ingat. Eh, kamu belum tidur?"
"Emang disengaja."
"Maksudnya?"
Cindy Montolulu terdengar sedang menghela nafas. "Aku masih mimpi lagi."