Tak Seindah Fiksi

Ravistara
Chapter #1

Transisi

Pernah ada satu masa bahagia dalam hidup Amara. Pertemuan pertamanya dengan Levi bagai musim semi yang telah ditakdirkan. Betapa dahsyatnya perasaan itu, hingga mereka tidak mampu menjauh satu sama lain, sama seperti pasangan lain di luar sana yang kehilangan kendali atas diri mereka akibat jatuh cinta. Namun, Amara kemudian belajar, segala sesuatu yang datangnya tiba-tiba dalam skala luar biasa ternyata mengandung bahaya. Amara tidak pernah menyangka jika musim semi miliknya akan berakhir begitu cepat, lalu sekonyong-konyong datang musim dingin yang tak terduga, seolah-olah waktu berkhianat dan memusuhinya. 

Jika bahagia selamanya hanya ada dalam fiksi, dapatkan Amara melompat ke dalamnya? Alkisah di negeri tinta, katanya, cinta tersedia dalam berbagai rupa. Waktu tidak berlaku di sana karena berhenti selamanya pada momen bahagia. Sementara, di dunia nyata, Amara berusaha keras untuk mengingat bagaimana rasanya mencinta dan dicintai. Kebahagiaan seharusnya bisa diukur dengan sederhana, seperti kehangatan tubuh yang mendekapnya sepanjang malam, rangkaian kata manis yang mengisi obrolan, atau pekat manik mata Levi yang menatapnya nyaris tanpa jarak, seakan-akan sepasang mata tersebut menyerap seluruh cahaya yang berani melintas di antara mereka. Ketika mereka berpisah, cahaya itu berpencar menjadi warna-warni yang mampu diraih, lalu ditaburkan di atas kepala. 

Bagi Amara, kebahagiaan itu mestinya berbanding lurus dengan cinta yang murni, sakral, dan intim, tetapi kemudian dia sadar bahwa mengukur kebahagiaannya saat ini sama mustahilnya dengan mengukur jarak ke ujung pelangi. Kebahagiaan yang dia damba ternyata abstrak dan menipu. Percayalah, Amara tahu betapa berbahayanya memercayai mentah-mentah tiap sesuatu yang bisa dilihat. Jika orang-orang bilang cinta itu buta, tidak sepenuhnya salah. Cinta tidak punya telinga untuk mendengarkan pendapat orang lain, bahkan suara hati sendiri. Amara tahu persis bagaimana Levi mulai terlepas dari orbit karena mengejar pelangi di ujung dunia.

Amara berjalan di bawah kabel penuh lampu hias yang melintang di sana-sini. Terangnya menyaingi nyala senja terakhir hari itu. Kilau keemasan pun memantul sempurna pada rambut pirang palsu, gaun putih berpotongan pinggang tinggi, serta pundak telanjangnya yang kuning langsat. Cahaya seolah terpancar dari parasnya yang lembut hingga menyedot banyak pasang mata. Tidak sedikit di antara mereka lantas menghentikan langkahnya, menyapa, lalu mengajak berpose di depan kamera. 

Jika kadar perhatian yang Amara terima mampu menjadi ukuran kebahagiaan, kenapa yang dia rasakan justru sebaliknya? Seakan kebahagiaan itu terpental kembali dari sorot matanya yang hampa. Sepasang mata itu sedari tadi tak kenal lelah mencari-cari ke satu arah–pada seorang lelaki agak kurus berkaus tipis lekat ke badan serta kamera tergantung di lehernya. Lelaki itu berkulit gelap dan tidak mencolok dalam keremangan cahaya. Keberadaannya terabaikan bagai bayangan. Namun, kilat kamera menyambar cepat tatkala dia memotret cosplayer-cosplayer yang sedang menampilkan aksi teatrikal di atas panggung. Musik berirama cepat dan menghentak sumsum tulang seakan makin membakar semangatnya. 

Andai Amara boleh bertukar tempat dengan salah satu cosplayer di sisi panggung yang lantas menarik perhatian lelaki itu. Penampilan Amara sesungguhnya tak kalah menawan, tetapi tampaknya dia bukan objek foto menarik dibandingkan gadis muda yang luwes dan mudah tersenyum kepada setiap pria. Amara bahkan bukan cosplayer, dia hanya terseret kemari mengikuti jejak lelaki itu.

Lihat selengkapnya