Tak Seindah Fiksi

Ravistara
Chapter #3

Konklusi

Malam kian larut. Dalam selubung kegelapan, wajah Amara tampak pucat menentang nyala laptop. Tanda-tanda letih membekas pada permukaan kulitnya yang kusam dan kini jarang disentuh kosmetik. Sepasang bola mata jernih miliknya sebenarnya menipu karena isi kepalanya sedang dipenuhi oleh jalinan temali kusut. Hampir satu jam dia berusaha memaknai kalimat demi kalimat yang terkirim dalam pesan kedua sahabatnya. Mereka sedang memperdebatkan masalah yang sama: Kieran. 

Kafka: 

Aku sudah baca novel kamu yang menang kemarin. Aku tahu sekarang kenapa Kieran jadi naik darah. Kamu bikin karakter red flag dari kalangan dia. Secara tidak langsung, kamu juga menyerang karakter dia. Kenapa kamu begini, Mar? Kami sudah memperingatkan kamu sejak awal. Karena konflik kalian berdua, suasana grup jadi enggak nyaman.  

Amara:

Aku enggak tahu kenapa Eran membawa kesalahpahaman ini ke grup!

Lily:

Yakin, ini cuma salah paham? Eran sepertinya enggak menganggap begitu, Mar. Kamu tahu Eran itu sensitif dan punya isu khusus, sedangkan kamu orangnya memang suka main tabrak.

Amara:

Maksud kalian, aku sengaja menebar kebencian? Sama mentorku sendiri?

Kafka:

Ini akhir zaman, Mar. Benar dan salah tumpang tindih, mesti serba hati-hati. Sekalipun niat kamu lurus, tapi kalau caranya salah, bisa jadi menyakiti orang lain. Lagian, kenapa, sih, kamu mesti cari mentor segala? Eran, pula. Kamu sudah tahu dia bagaimana, tapi kamu sendiri yang nekat menawari dia masuk grup. 

Amara:

Mana aku tahu kalau dia jadi salah paham? Lagi pula nggak ada deskripsi seperti itu sebelumnya waktu penerimaan anggota baru. Aku pikir enggak ada masalah selama dia enggak terang-terangan berkampanye dalam tulisan.

Kafka:

Oke, aku akui aku salah karena terlambat bikin peraturan itu. Tapi, apa kolaborasi dengan kami berdua juga enggak cukup buat kamu belajar?

Lily:

Ka, udah. Kenapa malah berantem?

Amara:

Mau kalian sekarang apa?

Kafka:

Kamu tahu peraturan grup. Jika ada sesama anggota berselisih, salah satu harus keluar. 

Amara tidak lupa peraturan itu. Hanya saja, momen ini terlalu pas bagai dalam skenario. Tatkala dia berada di ambang putus asa untuk memilih terus berjalan atau berhenti, Kieran tiba-tiba muncul menjegal langkahnya. Amara tidak keberatan terjatuh sekarang. Dia memang berharap seseorang akan menghentikannya–sebelum Tuhan. 

Amara:

Mungkin, ini jalan terbaik. Aku keluar.

Kafka:

Lihat selengkapnya