Bangunan rumah sakit itu masih sama persis dalam ingatan Amara, kesannya asri karena jauh dari pusat kota. Keempat sisi lorongnya yang terbuka membentuk jalur persegi panjang bernuansa putih terang. Di tengah-tengah, ada halaman rumput luas yang baru dipangkas, sehingga angin yang berembus membawa aroma petrikor di udara.
Tidak banyak pengunjung yang datang atau petugas berlalu lalang. Suasananya betul-betul tenang. Sesekali, terdengar deru pesawat di atas kepala karena tempat itu berlokasi dekat bandara. Kendati demikian, nostalgia Amara tidak semenyenangkan dulu. Dia jauh lebih bahagia saat pertama kali memeriksakan kandungan ke sini. Namun, kali ini berbeda. Dia sakit sungguhan.
Setelah berminggu-minggu bagai di neraka lantaran tersiksa oleh nyeri luar biasa, Levi akhirnya setuju untuk mengantarnya berkonsultasi. Ironis, Amara adalah alumni dokter, tetapi harus menggantungkan biaya kesehatan pada Levi karena dia tidak bekerja lagi. Itu pun masih lebih baik daripada harus mengemis pada satu angkatan. Dokter juga manusia, tidak semuanya mapan atau berada di puncak kesejahteraan.
Demi kenyamanan, Ursa dia titipkan di rumah mertua. Amara takkan mampu mengawasi seorang bocah berenergi tinggi yang menganggap semua tempat adalah arena bermain. Pernah terjadi insiden Ursa kena amuk seorang bapak lantaran terganggu oleh keriuhan yang dibuatnya. Saat itu, hanya ada tatapan prihatin dari orang yang menonton, seolah-olah mereka menyesalkan kelalaian Amara menjaga putra semata wayangnya. Sementara, Levi? Lelaki itu diam saja. Amara yang harus menelan pil pahit saat Ursa dibentak-bentak di depan matanya. Sayang, Amara tidak bisa membalas balik perbuatan si bapak. Amara tahu diri, tiada guna meladeni orang sakit. Di dalam tubuh yang tidak baik-baik saja, ada jiwa yang mudah lelah dan lepas kendali.
Tanpa keberadaan Ursa pun, Amara tidak bisa menghindar dari tatapan heran pengunjung lain yang diam-diam tertuju ke arahnya. Kentara sekali Amara memusuhi kursi tunggu sejak tiba di depan ruang poli bedah. Tak sedikit pun dia tergoda melirik benda itu, apalagi berpikir untuk mendudukinya. Kesabaran Amara menunggu nomor antrean pasti terlihat setipis ari-ari. Orang-orang itu tidak tahu saja, bokong Amara rasanya terbakar setiap kali menyentuh kursi. Sementara itu di sebelah, Levi punya alasan untuk membunuh rasa bosan serta tidak memedulikan dirinya. Suaminya sedang tenggelam dalam permainan multipemain daring yang sudah ditekuni entah kapan.
“Tadi Ursa belum sarapan. Aku cuma kasih bekal kudapan ringan.” Amara mulai mengungkapkan keresahannya. Seiring waktu berjalan, hanya ada Ursa di kepalanya. Entah Levi mendengarkan atau abai, dia tidak peduli. Amara hanya butuh banyak bicara, apalagi setelah ujung jemarinya tidak pernah lagi menyentuh papan ketik. Lisan menggantikan peran tulisan.
Ketika Amara melirik, Levi sedang terjebak dalam permainan menyerang dan bertahan yang sulit. Agaknya, lelaki itu tengah kehabisan taktik karena terus dihujani tembakan dari musuh tak terlihat. Amara menggigit bibir. Andaikata dia masih seorang pemain, apakah hubungannya dengan Levi akan lebih terkoneksi? Susah sekali kini menghubungkan pikiran mereka yang tersendat, seolah-olah pasutri itu berasal dan hidup di dua tempat. Hanya satu frekuensi yang mempersatukan mereka selama ini. Ursa.
“Dari tadi, kena tembak mulu. Mana tim yang backing kamu?” Amara tidak mampu menahan diri. Levi cuma bergumam pendek. Mungkin karena fokus mengatur strategi, maka pertanyaan Amara jadi terasa berisik. Sementara itu, jemarinya terus bergerak cepat memainkan joystick tambahan yang melekat pada telepon genggam. Sudah tak terhitung berapa kali Levi berganti joystick lantaran rusak keseringan dipakai.
“Ah, sial! Sial!” Levi mengumpat tatkala avatarnya kehabisan nyawa dan harus keluar dari misi. Wajah suaminya memerah. Levi terlalu menjiwai permainan, pikir Amara. Permainan hanyalah sebuah permainan. Tak ada yang berubah di dunia nyata sekalipun Levi menguasai papan peringkat. Suaminya sudah terlalu berumur untuk bermain gim. Amara saja memutuskan untuk berhenti di usia tiga puluh, setelah pernikahan mereka memasuki level berikutnya, yakni menjadi orang tua. Bagai puber kedua saja. Namun, Amara enggan menyuarakan keberatannya. Levi tidak senang dibantah. Bukan hanya Amara yang akan jadi sasaran kemarahannya kemudian, tetapi juga Ursa. Mereka berdua akan didiamkan oleh Levi untuk waktu yang tidak sebentar. Bagi Levi, dunia permainan adalah pertaruhan harga dirinya.
Seorang perawat wanita berhijab akhirnya meneriakkan nama Amara Fahlevi dan penantian mereka berakhir. Amara segera mencolek lengan suaminya yang masih menggantung kaku. Emosi dan adrenalin belum tersalur keluar sepenuhnya dari otot-otot biseps lelaki itu.
“Temani aku,” desak Amara. Dia tidak peduli walaupun saat itu pikiran suaminya tengah berkabut akibat menderita kekalahan. Nyawanya lebih berharga daripada permainan kekanak-kanakan milik Levi. Amara pun menahan sensasi mencubit di perut ketika butuh waktu lama bagi Levi untuk membereskan perangkat permainannya, hingga Amara menunggu di depan pintu seperti orang bodoh.
<->
“Anda dokter?” Dokter bedah paruh baya menilik Amara melalui kacamatanya, sedangkan jari-jari panjangnya memegang kartu kesehatan milik perempuan pertengahan tiga puluh itu. Sang perawat lekas memeriksa ulang identitas Amara dan gagal menyembunyikan raut terkejut.
“Ya, Dok, tapi saya enggak praktek. Sudah lama resign.”
“Resign?” Lelaki berkulit putih dan bermata sipit di seberang meja mengernyit. Ekspresinya menunjukkan rasa ingin tahu.
“Saya dulu kerja di klinik kecantikan, bukan rumah sakit atau praktek pribadi.” Amara menebalkan muka tatkala menjelaskan. Mentalnya telah terbiasa dengan pertanyaan basi macam itu. Amara pun tidak pernah menuliskan gelar di depan namanya.