Telepon Amara berdering panjang di seberang, sebelum akhirnya berhenti karena tidak ada jawaban. Amara pun tidak mampu menjelaskan kepada dua perawat yang akan mengantarnya ke ruang operasi bahwa suaminya menghilang.
“Suami saya sedang dalam perjalanan.” Amara berbohong dengan wajah tenang, tetapi hatinya bergemuruh.
“Kalau begitu, kita siapkan sekarang sambil menunggu suami Ibu, ya. Kami mau pasang infus dulu.” Amara tersenyum mengangguk ketika mereka menyampaikan informed consent tersebut. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan meskipun jika dia harus menjalani operasi sendirian. Sudah lama dia berjalan tanpa Levi. Selain itu, Amara sedang berada di lingkungan alaminya. Dirinya baik-baik saja.
Amara tidak terkejut ketika perawat lelaki berbadan besar dan tegap bak atlet gagal menemukan pembuluh darahnya. Semasa kuliah, rekannya pernah bilang kalau pembuluh darah miliknya tidak elastis dan bergerak liar ke sana kemari. Alhasil, kulitnya ditusuk jarum berkali-kali, kanan kiri, hingga kedua lengannya memerah. Rasanya sakit, meskipun tidak sesakit janji yang diingkari oleh Levi.
Perawat itu pun meminta maaf dan berjanji bahwa Amara akan langsung ditangani oleh perawat anestesi di ruang operasi. Selagi dia menjelaskan, perawat perempuan muda berhijab yang menemaninya, membereskan peralatan infus dari ranjang Amara.
“Tidak apa-apa, Mas.” Amara memaklumi. Jika jadi mereka, dia juga pasti akan melemparkan tugas sulit itu pada perawat anestesi. Bagai dalam sinetron azab, Amara pun pernah berada di situasi yang sama.
“Sudah waktunya kita ke ruang operasi. Ibu kami antar dulu, ya? Biar suaminya nanti menyusul.”
Perawat perempuan mendorong brankar ke dalam. Tidak ada waktu lagi untuk menunggu Levi, kedua perawat itu bekerja bagai diburu waktu. Mereka sudah tidak sabar mengoper Amara karena sebentar lagi waktu magrib. Keduanya pasti tidak ingin terlambat berbuka puasa Ramadan.
Amara harus berterima kasih pada sang dokter bedah yang meluangkan waktunya petang itu. Ini bukan kebaikan sejawat pertama yang dia terima, meskipun Amara sudah berusaha menyembunyikan identitasnya agar tidak diperlakukan istimewa. Dia hanya merasa tidak pantas karena kini sudah melepas status sebagai dokter. Semua demi menuruti perintah Levi untuk mengasuh Ursa. Lalu, di mana suaminya sekarang?
Jujur, hari itu adalah momen paling aneh bagi Amara. Semenjak kecil, Amara belum pernah dirawat di rumah sakit. Namun, kini dia merasakan berada di posisi pasien yang tidak nyaman. Untuk pertama kali dan semoga terakhir kali pula, Amara mengenakan baju pasien O.K. Amara merasa telanjang di bawah lapisan tipis jubah yang diikat di bagian punggung. Beruntung Amara mampu melakukannya sendiri karena badannya cukup langsing. Sayang, tidak ada Levi yang bisa menyimpankan barang-barang pribadinya. Amara terpaksa meminta keresek dari seorang perawat.
Selagi Amara berkutat dengan beragam kecanggungan tersebut, sang dokter bedah duduk menunggu di meja depan. Sudah ada kotak makanan di atas sana yang kemudian langsung lelaki itu santap begitu azan magrib berkumandang.
“Mari, Dok. Kita siapkan dulu sambil menunggu operator, ya.” Dokter anestesi lelaki empat puluhan membantu Amara naik ke meja operasi.
Amara berusaha merilekskan otot-otot wajah yang kaku saat gelarnya disebut. Meskipun wajar, formalitas itu terasa tidak normal baginya. Amara menghendaki perlakuan biasa-biasa saja dari orang di sekitarnya. Namun, bagaimanapun, dia harus menghargai apresiasi mereka. Jika orang-orang itu ada di posisinya, Amara mungkin juga akan bersikap serupa. Gelar dokter melekat pada dirinya seumur hidup karena dia telah disumpah–dan Amara berharap bahwa dengan menyembunyikannya tidak dihitung sebagai kejahatan.
Menanggung gelar itu saja bagai hukuman baginya. Ibarat skenario, Amara sudah hafal betul apa yang terjadi pada tubuhnya kemudian. Para asisten operator bedah berjumlah dua orang memintanya dengan sopan untuk naik ke atas ranjang operasi, lalu mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi dalam posisi litotomi. Amara membayangkan dirinya seperti kalkun yang sedang terbaring di atas meja dapur dan pasrah menunggu dibersihkan. Semua ususnya akan ditarik keluar, lalu perutnya diisi oleh bumbu-bumbu. Setelah semua selesai, duburnya pun akan dijahit dengan benang.
Seketika, segenap malu dan canggung yang mendera Amara kalah oleh rasa bahagia karena tak lama lagi, dia bisa menuruti selera makannya yang biasa sebelum dirinya jatuh sakit.
Ukuran kebahagiaan Amara saat itu mungkin hanya seluas ruang lambungnya yang kosong setelah berpuasa seharian penuh.
<->
Hal terakhir yang Amara ingat sebelum kesadarannya mengambang adalah dokter anestesi sedang menyuntikkan obat bius pada pangkal pahanya, sementara itu dua orang perawat memasang infus di pergelangan tangannya.