Tak Seindah Fiksi

Ravistara
Chapter #6

Interval

Mereka pernah menjadi belahan jiwa, saling melengkapi bagian yang tak sempurna, dan hal-hal lain yang terjadi antara sepasang kekasih. Namun, Levi yang berdiri di hadapan Amara sekarang ibarat partitur lagu yang hilang. Levi serasa jauh dan asing. Mereka terpisah oleh dimensi yang tak dapat dijangkau oleh sinyal hati Amara. Maka, tak heran jika harapan Amara kembali dipupuskan oleh sang suami hari itu dan Levi punya alasan kuat karena badannya sakit semua. 

Levi juga harus tahu bahwa bukan sekali dua kali hati Amara berdenyut ngilu dipatahkan olehnya. Amara berharap akan bertemu Ursa usai operasi, tetapi keinginan tersebut belum terwujud. Dua hari di rumah sang nenek, Ursa pasti bingung karena tidak menemukan ibunya di mana-mana. Mereka berdua punya ikatan khusus yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Namun, kekecewaan Amara tak terbendung ketika tamu pertama yang masuk melewati pintu justru seorang ibu berusia lima puluhan dan gadis muda tak dikenal. Si ibu mengenakan tunik berbahan murah, sementara si gadis tampil dalam gamis yang lebih tertutup. Ibu dan gadis tersebut memiliki wajah serta logat kaum pendatang dari luar pulau. Tidak hanya sampai di situ, Amara mampu menangkap ekspresi canggung yang kentara manakala Levi memperkenalkan kedua sosok asing itu kepadanya. Mereka seakan menilai tiap jengkal dirinya dengan tatapan yang terus terang terasa mengganggu. 

“Ini istri saya.” Cara Levi memperkenalkan status Amara terdengar setengah hati, tetapi ucapannya sekejap berubah riang tatkala menjelaskan sosok keduanya pada sang istri. “Mar, ini Chika dan ibunya, teman satu grup musik aku.” 

Grup musik? Irama suasana yang dibawa oleh suaminya terlampau cepat hingga dia gagal memahami. 

“Serius, kamu masuk grup musik?” 

Ingatan Amara melayang pada momen perkenalan mereka di masa lalu. Levi dengan sengaja mengusik Amara yang sedang melukis di kamar. Kendati telah bersikap lancang, Amara tak urung terkesima ketika Levi unjuk kebolehan menggores kuas di atas kanvas. Amara segera melihat bahwa kemampuan Levi berada jauh di atasnya. Pertemuan itu pun meninggalkan kesan hebat di hati Amara dan tidak berhenti di situ. Mereka dapat kesempatan berjumpa kembali saat Amara mencari-cari alasan untuk mengantarkan ibunya berkunjung ke rumah sang bibi alias ibu mertuanya sekarang. Levi memamerkan kibor yang baru dia beli, lantas memainkannya di depan Amara. Tidak mengejutkan, Levi juga menguasai gitar, seruling, dan sedikit biola, hingga Amara menyadari bahwa Levi dianugerahi tangan yang luar biasa.

Curilah hati para gadis dengan bermain musik. Levi berhasil melakukannya dan segera menjadi pusat dunia Amara. 

“Iya, Kak. Kita sering main bareng tiap malam Kamis. Kadang juga malam lain kalau ada waktu.” Inilah yang terjadi sekarang. Chika dengan senang hati menjelaskan sehingga Amara menemukan kepingan teka teki di balik raibnya Levi tiap malam. Namun, kepingan tersebut kini meninggalkan lubang besar atas pertanyaannya belum terjawab tuntas. 

“Bukannya hari ini kamu mengundang tukang pijat langganan kamu ke sini, Lev? Orangnya enggak jadi datang?” 

“Ibunya Chika yang bakal pijitin aku.”

Amara terkesiap tidak menyangka. Benar-benar aneh, padahal sebelumnya Levi hanya berlangganan jasa tukang pijat lelaki. Apalagi ketika ibu si gadis tanpa sungkan mengambil tempat di tepi ranjang, lalu mulai mengerok Levi yang telah melepaskan baju kausnya. Keakraban mereka terlihat tidak biasa di mata Amara. Namun, dia hanya memendam perasaan ganjil tersebut karena masih terlalu awal untuk berprasangka macam-macam. 

“Ibu sudah lama tinggal di Kalimantan?” Amara memulai obrolan. Meskipun bukan termasuk tipe yang senang memunculkan diri di tengah keramaian, jiwa penulis Amara tertarik untuk menggali latar belakang orang yang baru dia kenal dekat dengan suaminya. Hal-hal seperti itu Amara anggap berguna suatu hari. Makin kaya pengetahuannya tentang karakter manusia, maka semakin terbuka pemikirannya tentang hidup. 

“Sudah lama.” Si ibu tersenyum singkat yang lagi-lagi terasa tidak tulus di mata Amara. Perempuan itu seakan menyembunyikan sesuatu.

“Anak Ibu ada berapa?” 

“Tiga, Mbak. Chika ini yang paling kecil.”

“Oh, masih sekolah, ya?”

“Baru lulus SMA.”

“Kuliah atau kerja?”

“Di rumah saja, bantu saya jaga penitipan dan warung makan kecil-kecilan.”

“Rumahnya di mana, Bu?”

Amara terus berusaha memperoleh respons. Dia tidak peduli jika dianggap kelewat penasaran, tetapi perempuan dan putrinya itu sekarang ada di kamar rawat inapnya. Maka, sudah sewajarnya jika mereka berkomunikasi dengannya, bukan hanya Levi. Amara adalah pasien di tempat itu, sedangkan Levi hanya seorang penunggu pasien. Suaminya. Andaikan dia tidak mendengarkan permintaan Levi sebelumnya, tentu barangkali Amara berpikir dua sosok asing yang baru dia kenal beberapa menit lalu tersebut sedang menginfiltrasi ruang pribadinya–dan, jujur, kesannya sangat tidak sopan. 

“Aku tunggu di luar, ya.” Chika pamit seraya memainkan telepon genggam. Sepeninggalnya, Amara turut merasakan keganjilan dari wajah si gadis yang jarang tersenyum, bahkan bibir tebalnya melekuk masam saat mereka tak sengaja bertemu pandang. Mungkin, obrolan sok akrab Amara membuatnya tidak nyaman. Entahlah, Amara memutuskan untuk fokus pada si ibu saja karena lebih mudah diajak bicara daripada anak gadisnya yang kelihatan tertutup. Terserah apa pendapat Levi. Sebagai orang sakit, dia punya hak untuk dijenguk dan beroleh ketenangan, bukannya merasa terusik oleh keberadaan tamu suaminya. 

“Saya dan Levi masih satu keluarga, Bu. Satu nenek buyut. Jadi, kami sepupu.” Amara memutuskan untuk membuka diri dan memainkan kartu istimewanya, yakni sejarah keluarga yang turun-temurun dan tidak pernah bosan diulang. 

Lihat selengkapnya