Tak Seindah Fiksi

Ravistara
Chapter #7

Adiksi

Tiga hari rawat inap di rumah sakit sungguh di luar perkiraan Amara dan dia hampir saja tinggal di sana lebih lama karena sang dokter bedah memberi advis padanya untuk transfusi darah. Amara sendiri yang menandatangani informed consent penolakan tindakan, meskipun kulitnya sudah pucat seperti mayat lantaran anemia berat. Amara hanya mengeluh agak lemas, tapi selebihnya dia merasa baik-baik saja. Amara mungkin pasien bebal. Bukan masalah jika dia adalah pasien biasa. Namun, faktanya, dia berstatus dokter. 

Kembali ke rumah tidak lantas menjadikannya bernapas lega. Baik di rumah ataupun rumah sakit, sama saja, masa-masa penyembuhannya terasa bak neraka. Ibunya tidak hiperbolis saat menggambarkan bahwa masa itu adalah bagian paling sulit bagi penderita hemoroid. Boro-boro bisa makan enak sebagaimana yang Amara bayangkan, untuk meraup satu tarikan napas saja rasanya butuh perjuangan karena sensasi terbakar yang tidak hilang-hilang. Setengah mati Amara berusaha menemukan rasa nyaman dan kembali beraktivitas normal. Namun, hal terbaik yang bisa dia lakukan selain berguling kesakitan adalah tidur. 

Entah sudah berapa lama Amara memaksakan matanya untuk terpejam dan melupakan rasa sakitnya dengan tidak memikirkan apa-apa, lalu dia kembali bangun lantas memandang ke arah jendela di sisi ruang persegi sempit dengan corak kertas dinding berpola kartun. Dulunya, ruangan itu adalah kamar bayi untuk Ursa yang disiapkan oleh Levi. Kini, kamar itu menjadi tempat istirahatnya yang cukup nyaman. Perabotan di dalamnya hanya berupa kasur kecil yang ditaruh di lantai, nakas dengan cermin geser yang di bagian belakangnya adalah lemari kecil, serta sebuah televisi yang terpasang di dinding. Benda itu sudah lama tidak menyala karena tidak dilengkapi perangkat penangkap transmisi. Ursa hanya menggunakannya sesekali untuk memutar koleksi kartun kesayangannya. 

Sementara itu, di sekitar Amara ada tas, koper, serta keranjang tempat dia menyimpan pakaiannya dan Ursa. Kamar itu lebih terasa seperti kamar losmen. Amara sudah lama tidak tinggal di sini dan semua barangnya sudah dipindahkan ke rumah petak milik ibunya di luar kota. Dia hanya kembali sebentar karena tempat ini dekat dengan rumah sakit BPJS pilihannya. Rumah ini adalah rumah milik ibu mertuanya yang rencananya ingin dijual tapi tidak laku-laku. 

Sinar matahari sudah bergulir melewati khatulistiwa dan membentuk lajur cahaya di bawah jendela. Sementara berbaring menatap langit, Amara jadi tahu bahwa Levi dan Ursa belum pulang. Dia juga tampaknya nyaris menyia-nyiakan waktu zuhur. Amara pun bangkit dalam setiap gerakan yang butuh energi ekstra karena tubuhnya masih belum prima. Ada sedikit perasaan menyesal karena dia menolak advis sang dokter bedah. Namun, tubuhnya telah beradaptasi dengan kekurangan darah sejak lama, sehingga Amara yakin bahwa dia akan pulih tanpa intervensi khusus. Amara hanya butuh waktu. Lagi pula, rasanya tidak lebih buruk dibandingkan nyeri luka operasinya yang belum menutup.  

Inilah akibatnya tidak menjaga kesehatan diri sendiri, Amara mendumal dalam hati. Amara lebih memilih menanggung nyeri lahiran yang berlangsung singkat. Hari pertama melahirkan Ursa, dia sudah bisa jalan-jalan dan mencuci pakaian seperti biasa. Sementara, proses pemulihannya saat ini di luar ekspektasi. Mungkin saja Amara akan terjebak di kotak sempit yang melindunginya dari dunia ini selama-lamanya. Masa depannya tampak suram di depan mata. Amara tidak tahu manakah yang akan membunuhnya lebih dulu: rasa sakit ataukah bosan?

Dengan kepala terasa melayang. Amara berjalan hati-hati ke kamar mandi untuk berwudu. Dia nyaris pingsan tatkala kembali ke kamar hingga memutuskan salat sambil berbaring–yang sudah dia lakukan sejak seminggu. Setelahnya, Amara lantas menyantap bekal makanan yang dibawa oleh Levi dari rumah mertuanya pagi tadi. Dia terpaksa tidak puasa demi proses pengobatan. Bulir-bulir uap terperangkap di bawah tutup rantang dan langsung membasahi lantai ubin bercorak putih polos. Amara terperenyak ketika mengetahui isinya adalah masakan berbumbu merah khas banjar, yakni masak habang. Dengan melihatnya saja, luka operasi Amara seolah berdenyut nyeri. Meskipun rasanya tidak pedas, tapi tetap saja masakan tersebut menggunakan cabai kering dalam resepnya, salah satu bahan yang tidak boleh dikonsumsi penderita sepertinya. Selama tiga puluh tahun hidupnya, Amara adalah penikmat masakan pedas kelas berat. Ditambah oleh aktivitasnya yang tidak sehat, tubuhnya pun akhirnya menjadi korban. Amara tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Namun, sekarang cuma tersedia menu ini yang bisa dia makan. 

Tanpa sadar, air mata Amara mengalir. Seharusnya dia pulang saja ke rumah orang tuanya, ibunya pasti akan lebih memahami kebutuhannya karena juga pernah berada di posisi yang sama. Amara terpaksa menyingkirkan bagian luar lauk yang berbumbu dan mengutil bagian dalamnya. Aturan di keluarga Levi sangat jelas, Amara tidak boleh menolak apalagi memprotes apa pun yang dibawa pulang oleh suaminya, sekalipun demi alasan kesehatan. 

<->

Tidak terkecuali aturan jam pulang Levi. Amara tahu Levi tidak peduli pendapatnya jika pulang terlambat, tetapi Amara berhak marah kali ini karena Levi seharusnya pulang empat jam lalu setelah menjemput Ursa. Sang suami langsung dia interogasi ketika akhirnya muncul bersama putranya yang tampak lesu, masih dengan seragam sekolah melekat di badan, tepat waktu magrib.

“Kamu ke mana saja, Lev? Ursa seharusnya sudah pulang dan istirahat sejak tadi.” Belakangan, Levi seringkali melakukan pelanggaran tersebut dan seolah disengaja untuk memancing emosinya. 

“Aku mau buka puasa. Capek tahu, enggak, antar jemput tiap hari. Tadi aku mampir ke rumah Ibu dulu. Masih untung, ‘kan, aku ingat pulang?”

Sebagai orang sakit, Amara harus tahu diri. Mungkin, dia memang sudah merepotkan, tetapi bukan ini yang dia inginkan andai boleh memilih.

“Kamu capek? Aku yang antar jemput Ursa tiap hari sambil mengurus rumah, enggak mengeluh, kok. Ini cuma sementara, sampai aku sembuh. Lagi pula, pesantren ramadan cuma seminggu dan kalian harusnya sudah balik pukul dua belas tadi.”

Sang suami tidak menggubris Amara seperti biasa. Lelaki itu sibuk membongkar rantang makanan yang dia bawa dari rumah ibunya. Mertua Amara sudah tiada lagi bedanya dengan layanan katering. Meskipun merasa malu, Amara tidak berhasil membujuk suaminya untuk berhenti mengandalkan masakan mertuanya. Levi selalu beralasan bahwa selera mereka seperti langit dan bumi. 

Maka, Amara biarkan saja Levi bersantap duluan. Dia merangkul Ursa yang melompat ke atas kasur, lalu membelai pucuk kepala putranya penuh kasih.

“Ursa ganti baju dulu, lalu salat,” bujuknya. Ursa diam cemberut dan Amara pun tahu bahwa putranya sedang lelah. 

“Ursa tadi pecah puasa, ya?” tebak Amara lagi karena putranya tidak ribut-ribut minta makan. 

“Iya, soalnya diajak Papa minum es limun.”

“Papa enggak puasa?” Mata Amara membulat. 

“Papa enggak minum. Cuma Ursa yang dibeliin. Terus Ursa dikasih makan sama Tante Chika.”

Lihat selengkapnya