Di suatu pagi, Amara terbangun kelimpungan seolah-olah seorang pencuri baru saja memasuki rumahnya dan mengambil barang berharga miliknya. Sedikit saja dia lengah, Ursa lenyap dari pandangan bersama raibnya Levi. Suaminya berangkat diam-diam bagai sedang menyelinap keluar penjara.
Maka, hal pertama yang Amara lakukan pagi itu adalah melacak jejak suaminya. Berkali-kali dia berusaha menghubungi nomor Levi, tetapi tidak diangkat. Amara sibuk berpikir tentang bagaimana reaksi Ursa ketika Levi membujuk bocah itu pergi. Apakah Ursa menganggap Amara pemalas karena aktivitasnya pascaoperasi cuma tidur-tiduran saja? Amara khawatir, pemikiran anak kecil bisa saja lebih dramatis daripada orang dewasa. Mungkin saja Ursa menganggap Amara jahat karena sering menelantarkan dirinya. Bukankah itu yang selama ini terjadi? Tingkat kepedulian Amara terhadap Ursa sebelum dan sesudah operasi sebetulnya tidak jauh berbeda–nyaris nol. Amara hanya hadir secara fisik, sementara jiwanya melanglang buana dalam kisah-kisah miliknya.
Kali ini, karma seakan membalasnya. Amara tertunduk pasrah menyadari kesalahannya sehingga sang putra pergi tanpa pamit. Setidaknya, Amara bisa lebih tenang, andaikan cara Levi menggantikan perannya sebagai pengasuh tidak di luar koridor harapannya. Levi bagai merenggut paksa dan tidak menghormati kedudukannya sebagai ibu Ursa.
Harapan Amara sedikit melambung tatkala mendengar denting pesan masuk. Namun, harapan itu jatuh seketika lantas berganti rasa bingung yang mengalihkan keresahannya sesaat.
Kafka:
Mar, kamu sakit?
Sebuah pesan pribadi dari Kafka yang menanyakan kabarnya sungguh tidak terduga. Amara merahasiakan penyakitnya dengan rapi bahkan tidak memberi tahu siapa pun mengenai operasi kemarin. Mustahil jika Kafka mengetahuinya.
Amara:
Kenapa kamu nanya begitu?
Kafka:
Kamu menghapus akunmu di platform. Entah kenapa setiap orang yang aku kenal, bakal menghilang tanpa kabar kayak gini kalau sedang sakit.
Amara:
Bukan berarti aku juga sakit, kan?
Kafka:
Bisa saja karena sakit hati.
Amara sengaja berbohong untuk menutupi fakta, tetapi malah dia sendiri yang tertampar oleh kalimat singkat Kafka. Ya, Amara saat ini memang sakit hati, tetapi bukan dalam konteks yang sama dengan maksud Kafka. Namun, dia sudah telanjur basah dan tidak punya kewajiban untuk menjelaskan segala hal pada sahabatnya. Entah, Kafka masih menganggapnya sahabat atau tidak karena tega berkata sekejam itu padanya. Sejak peristiwa Kieran, Amara merasa hubungannya dengan Kafka jauh berubah.
Amara:
Platform itu enggak lagi sesuai dengan visi misiku. Aku enggak yakin bisa lanjut lagi di sana, Ka. Aku enggak mau terlibat dengan platform yang mendukung kampanye LGBTQ.
Kafka:
Dari dulu, platform itu sudah begitu atau kamu saja yang pura-pura tidak mau tahu? Kamu juga semestinya sadar karena ketemu Kieran juga di situ, kan?
Amara:
Justru lebih baik kalau aku enggak di sana lagi biar enggak perlu ketemu Kieran.
Kafka:
Hanya karena dia, kamu jadi menjauhi aku dan Lily? Kamu masih ingat, kan, kalau kita bertiga punya karya kolaborasi di sana.
Amara:
Karya-karya itu kuserahkan sama kalian. Aku enggak keberatan, kok, kalau tetap tayang di tempat kamu atau Lily.