“Baru sebulan operasi, kenapa naik motor?”
Maksud hati mampir sebentar ke rumah ibunya setelah mengantar Ursa sekolah, Amara malah kena marah. “Levi sibuk, Bu. Kerjaannya penuh habis lebaran, jadi enggak sempat ke mana-mana.” Amara berusaha menjelaskan dengan hati-hati pada Ibu yang tergopoh-gopoh membukakan pintu samping menuju teras belakang rumah berlantai papan abu-abu. Aroma kain segar dari jemuran yang baru digantung dan sangit ikan goreng di wajan bercampur aduk menyerbu hidung Amara. Rasa laparnya terbit seketika, terlebih karena dia merindukan rumah masa kecilnya.
Ibu kembali melanjutkan aktivitasnya di depan kompor sambil terus mengomel. “Sesibuk apa pun dia, harusnya Levi ngerti kalau kamu itu wajib istirahat, Mar! Kamu mau wasirmu kambuh lagi gara-gara naik motor? Ibu saja belum berani naik sepeda sampai sekarang!”
Tentu saja, ibunya takkan puas hanya demi alasan tersebut. Unek-unek perempuan kepala enam itu pun hanya numpang lewat sebentar di kuping Amara. Bersuamikan Levi adalah risiko tersendiri. Hidup di Kabupaten Banjar, salah satu kabupaten tertua di Kalimantan Selatan yang terkenal dengan hasil intan dan kerajinan permatanya, telah membentuk watak militansi Amara. Perempuan-perempuan Banjar terkenal dengan kemandiriannya mengurus diri dan keluarga. Jika sanggup, Amara jarang meminta bantuan Levi, termasuk urusan antar jemput Ursa sekolah. Namun, kata-kata sang ibu ada benarnya. Tanpa diingatkan pun, Amara merasakan luka operasinya berdenyut saat duduk di motor, sekalipun dia sudah menghindari lubang dan gundukan yang ada di jalan. Apalagi ketika sebelah kakinya turun saat motor berputar balik, Amara sampai meringis menahan napas untuk mengabaikan gesekan di bagian bawah tubuhnya.
“Walaupun aku sakit, sekolah Ursa tetap berlanjut, Bu.” Amara menganggapnya tantangan. Selama Levi bekerja untuk mereka dan masih sanggup membayar SPP sekolah Ursa, maka semuanya layak bagi Amara. Mereka sama-sama berjuang dengan cara masing-masing. Ibu pun menggeleng menyadari kekeraskepalaan sang putri. Amara tak bisa ditentang oleh siapa pun, termasuk ibunya sendiri.
“Kalau itu maunya kamu, Ibu bisa bilang apa?” Raut pada kulit wajah sang ibu yang tipis membalut tulang, tampak kecewa. Tangan keriput perempuan itu sibuk memindahkan ikan goreng ke piring, lalu lanjut menggoreng kerupuk. Diam-diam, Amara memperhatikan gerak-gerik ibunya yang tangkas. Ibu adalah pekerja keras, meskipun hal itu sempat menjauhkan Amara dulu dari kasih sayangnya.
“Ibu enggak usah khawatir, aku dan Ursa sudah balik ke indekos punya Ibu di seberang, jadi antar jemputnya dekat.”
Dia dan Ursa memilih tinggal di rumah petak milik sang nenek sejak Ursa masuk TK karena lebih dekat sekolah. Tidak Amara hiraukan keberatan Levi, baik untuk pilihan sekolah maupun tempat tinggalnya. Amara ingin pendidikan terbaik untuk putranya, sedangkan pilihan yang ditawarkan Levi hanya sekolah negeri dengan kurikulum pendidikan dasar. Ursa harus bersekolah di tempat yang lebih baik dari orang tuanya, tekad Amara. Karena, pendidikan yang maksimal akan membentuk karakter seseorang sedari kecil.
“Lalu, Levi tinggal di mana?” Ibu mendelik pada Amara.
“Ya, tetap di rumah ibunya.”
“Mau sampai kapan kalian pisah rumah begini?” tuntut Ibu.
Amara menjawab dengan penuh ketidakpastian. “Selama dia ada kerjaan, Bu. Listrik di indekos enggak kuat buat komputer Levi, jadi dia yang bolak-balik sesekali nanti buat nengok Ursa.”
Ibu mendengkus geram. “Levi usaha, dong, bikin rumah buat kalian. Masa cuma bikin rumah buat orang lain?”
Duh, bukan luka operasinya saja yang berdenyut nyeri sekarang, tetapi juga hatinya. Saat ini, mereka berdua masih belum mampu punya rumah sendiri dan Amara sudah lelah menjelaskannya berkali-kali pada keluarganya.
“Cicilan mobil Levi masih dua tahun lagi, Bu.” Jumlahnya pun enggak sedikit, cukup untuk membiayai dua Kredit Pemilikan Rumah.
“Itulah. Suamimu itu enggak dewasa-dewasa, gonta-ganti mobil mulu. Rumah buat anak istri saja enggak dipikirin.”
Amara diam. Dia tahu persis jika Levi tidak akan pindah rumah begitu saja demi dia dan Ursa, kendati mereka punya satu. Bahkan, Levi memang tidak pernah berniat untuk punya rumah sendiri sejak dulu. Sayang, kamu masih mau jadi istriku walau nanti kita tinggal di bawah jembatan? Lelucon Levi di masa lalu ternyata bukan kiasan semata. Suaminya lebih bahagia hidup nomaden dari rumah ke rumah. Kasih sayang keluarga tidak pernah cukup untuk Levi. Rumah hanya tempat singgah bagi sang suami, bukan untuk didiami dan dipenuhi. Seperti kabut yang datang dan pergi di atas lanskap rawa-rawa saat musim pancaroba. Saat itu pula, titik api gampang tersulut jika dia tidak hati-hati.
“Bibi mana, Bu?” Amara menanyakan kabar kakak perempuan ibunya untuk mengalihkan pembicaraan. Sejak dia datang, Bibi tidak terlihat. Ibu pun mengedik. “Enggak usah ditanya. Jam segini bibimu masih tidur. Bibi kamu itu, ya–” Ibu mulai mencerocos jengkel menceritakan kelakuan bibi Amara yang makin renta katanya makin manja dan ingin selalu dilayani makan minumnya. Bibi selalu mengeluh badannya sakit semua, ini, dan itu. Hubungan ibunya dan sang bibi terdengar mirip hubungan benci dan cintanya sendiri bersama Levi. Amara pusing karena dirinya malah menjadi tempat curhat sang ibunda. Cerita Ibu pun kedengarannya tidak bakal tamat-tamat jika tidak dia sudahi. Maka, Amara buru-buru pamit dengan alasan ingin membenahi rumah petak yang sebulan lalu ditinggal pergi.
“Kalau kamu enggak sibuk, ajak Ursa menginap di sini, Mar.” Sang nenek tampaknya sudah merindukan Ursa kembali, tetapi tidak ada yang bisa Amara janjikan, kecuali mengajak Ursa usai sekolah. Amara tidak yakin jika dia dan Ursa akan betah berlama-lama di rumah tua peninggalan keluarga mereka dengan segala kecerewetan penghuninya.
<->
Rasa pusing kian mendera. Awalnya, Amara menyangka keluhan itu masih berkaitan dengan kasus anemia pascaoperasi yang dia alami, tetapi lama-lama gejalanya semakin tidak wajar karena diiringi oleh meriang dan demam tanpa sebab. Amara pun dihantui tanda tanya hebat saat tidak sengaja menatap tanggal pada kalender yang tergantung di dinding.
Lev, aku minta uang belanja lebih, dong. Amara memberanikan diri mengirimi suaminya pesan.
Levi segera membalas. Kemarin udah, kok minta lagi?
Buat beli test pack. Aku telat dua bulan. Atau mau langsung cek ke obgin?