Pindah ke tempat Levi yang katanya cuma sementara ternyata tidak banyak memperbaiki situasi. Amara masih saja sering ditinggal sendiri. Bahkan, saat tiba waktu lahiran.
Lev, kamu di mana? Perutku sakit.
Sambil mengatur laju napasnya yang berlari, Amara berusaha tidak panik tatkala gagal menghubungi Levi. Sejak siang, pinggulnya terasa berdenyut. Amara segera beristirahat dan berharap dia akan merasa lebih baik, tetapi sensasi itu malah kian menguat. Menjelang Asar, tiba-tiba dia merasakan nyeri kontraksi yang menyengat punggung. Merasa jam biologis tubuhnya mulai menghitung mundur, Amara bergerak cepat untuk memasang pembalut, lalu berbaring di atas perlak sekali pakai yang langsung basah ketika ketubannya pecah.
Amara mencoba berprasangka baik bahwa bisa saja suaminya sedang dalam perjalanan karena sebentar lagi pukul empat, waktunya Ursa pulang sekolah. Selain itu, kontraksi yang dia rasakan berlangsung makin hebat, hingga Amara tidak mampu berpikir jernih. Amara hanya mampu mengingat sedikit bahwa persalinan pertamanya dulu cuma berlangsung selama tujuh jam. Persalinan kali ini pasti juga takkan lama.
Satu jam kemudian, Levi baru muncul seraya menenteng tas sekolah Ursa, sementara Ursa langsung melompat ke sisi ibunya yang sedang bergelung kesakitan. Amara kehabisan energi untuk bicara, tetapi dia menatap Levi dengan rasa kecewa meluap. Sia-sia saja Amara berusaha menyindir keterlambatan Levi, wajah suaminya seakan tidak merasa bersalah ketika melihat kondisinya yang mengenaskan.
“Bidannya bilang baru pulang jam segini, makanya aku ajak Ursa ke rumah Ibu dulu. Aku juga sudah kasih tahu ibu dan adik-adikmu.”
“Levi ….” Amara ingin menangis karena penjelasan suaminya hanya menambah intensitas nyeri yang dia rasakan. Akan lebih baik jika Levi diam saja atau datang langsung bersama sang bidan. Sama seperti sebelumnya, kali ini mereka merencanakan persalinan normal di rumah. Kebetulan, bidan yang akan menolong juga tinggal satu kompleks, sehingga mereka tidak perlu repot-repot berbenah kala mencari bantuan. Karena itukah Levi bersikap amat santai?
“Mama, Ursa lapar.” Ursa melapor dengan wajah kuyu. Mendengarnya, seketika Amara membulatkan mata heran ke arah Levi. “Katanya, kalian ke rumah Ibu. Ursa belum makan di sana?”
Gelengan Levi nyaris membuat perempuan itu meledak. Rasa sakit, kecewa, sedih, marah, semuanya berkumpul jadi satu. Amara sungguh tidak percaya karena dia masih harus memikirkan masalah yang seharusnya dibereskan oleh Levi di tengah proses persalinan. Bangun dari kasur saja, rasanya dia sudah tidak sanggup, apalagi menyiapkan makanan untuk Ursa.
“Tolong, Lev. Perutku betul-betul sakit,” desis Amara menahan nyeri.
“Ada yang mau makan mi?”
Seruan riang Levi sama sekali tidak menggembirakan hati Amara, tetapi Ursa langsung bersorak senang. Andai bukan dalam kondisi darurat, Amara pasti sudah memprotes ide Levi yang baginya sungguh tidak sehat.
“Jangan dikasih cabe, Lev. Jangan sampai Ursa sakit juga kayak aku!” teriak Amara mengingatkan. Dalam lima menit, tercium aroma sedap dari arah dapur dan celotehan samar anak laki-laki. Tubuh Amara lemas. Dia cuma makan sedikit tadi siang, tetapi sekarang dia hanya ingin meringkuk melupakan rasa sakit. Ketika Ursa kembali menempel di sisinya usai makan, Amara pun mengusir bocah itu menjauh.