Tak Seindah Fiksi

Ravistara
Chapter #11

Distraksi

Siapa pun orang itu, dia tahu betul cara menyelinap masuk dalam kehidupan Amara dan Levi seperti hewan berbisa yang mengintai dari bawah tanah, lalu melumpuhkan mangsa yang lengah untuk diseret ke dalam lubang. 

Amara mengirimkan pesan kepada Levi bahwa sang ibu menunggu di rumah. Tak sabar, ibu mertuanya meminta agar dia pun menelepon suaminya. Amara tidak berharap banyak usahanya akan dihiraukan, sama seperti sebelumnya. Namun, Levi mungkin membaca pesan tadi hingga kali ini mengangkat panggilan Amara. Sayang, kata pertama yang dia dengar dari sang suami adalah sebuah makian: “Cerewet!”

Jantung Amara berdegup kencang. Belakangan, Levi seringkali melontarkan kata-kata bahkan umpatan kasar yang tak nyaman didengar. Sikap Levi naik turun dengan drastis seperti ada orang asing yang menyetir isi kepalanya. Terus terang, Amara curiga kalau Levi menyembunyikan sesuatu darinya. Apalagi dengan adanya insiden ini, mertuanya bahkan tidak mengetahui keberadaan pasti sang putra. Padahal, sebelumnya Levi biasa bepergian dengan ibunya. 

“Mungkin, Levi sedang di jalan, Ma.” Amara berkilah membohongi mertuanya. Amara melakukannya demi menutupi permasalahan mereka. Belajar dari pengalaman masa lalu, Amara sadar bahwa tidak ada gunanya menjadi pengadu. Reaksi sang mertua akan merepotkan dirinya juga. Amara pasti bakal ditanya kenapa Levi sampai begini dan begitu. 

Pernah satu kali pasutri itu bertengkar hebat, sang mertua malah mempertanyakan perasaan Amara, apakah dia masih menyayangi Levi? Saat itu, kesabaran dan kepercayaan Amara ada di titik terendah. Dia dan Levi nyaris berakhir. Amara menggigil membayangkan bahwa pernikahan mereka kembali berada di fase gelombang terbawah. Amara tidak siap berayun pada tali pengaman yang sudah rapuh. Tali itu akan lebih mudah putus. Namun, kali ini dia tidak akan jatuh sendiri karena masalahnya sudah ada Ursa dan Obeida. 

Obeida terbangun dan memecahkan keheningan yang mencekam. Amara lekas berbaring untuk menyusui bayinya, sementara mertuanya duduk di tepi kasur dengan kerutan wajah makin kentara. Sedingin apa pun hubungannya dengan sang mertua, dia tetap tidak tega menyaksikan ekspresi kecewa di wajah perempuan lansia itu karena gagal menemui anaknya. Amara juga seorang ibu. Rasanya seperti dikhianati darah daging sendiri. Dalam medis, rasanya seperti dimakan oleh sel-sel darah putih sendiri. Itulah yang Amara rasakan sekarang, rasa sakit yang ditimbulkan oleh cintanya pada Levi lama-lama mengembangkan autoimun tersendiri. Amara tidak ingin disakiti lagi. Dan, Levi sungguh cerdik menjadikan alasan ibunya saat itu. 

Selagi Amara bergelung dengan si bungsu, pandangan sang mertua menyapu seisi kamar yang minim perabotan tersebut, tetapi tetap dijaga rapi oleh Amara. Lantainya pun disapu bersih minimal dua kali sehari. Kulit Amara memanas ketika sang mertua berpindah ke dapur, lalu kembali dengan tangan kosong. Tidak ada yang bisa dihidangkan untuk menjamu perempuan itu. Saking buru-buru, Levi bahkan tidak sempat meninggalkan uang saku pada Amara. 

Rasa malu Amara makin menjadi-jadi tatkala mertuanya pamit sebentar untuk membeli kudapan di warung, lalu menaruhnya di dekat sang menantu. Sang mertua pasti mengira perut Amara sudah kosong, lantas tidak berdaya seperti burung yang terkurung dalam sangkar. Anggapan ibu mertuanya tidak sepenuhnya salah. Amara merasa bahwa Levi memperlakukannya selama ini bagai hewan peliharaan–Amara teringat pada anjing penjaga salah satu rumah di blok tetangga. Anjing itu menggonggong pada setiap orang yang lewat. Amara mungkin tak jauh berbeda, terkadang dia berbicara tentang hal-hal yang mestinya dipenuhi oleh sang suami. Amara berpikir, dia melakukan sesuatu yang wajar, memperjuangkan nasib kaum tertindas yang terlalu lama diabaikan. Amara berusaha bertahan hidup dalam sistem patriarki. Amara merasa sedikit terhibur ketika tahu sebenarnya dia tidak bernasib buruk sendiri. Dia dan sang mertua sama-sama dikelabui oleh Levi. 

Ketika mertuanya menyerah dan pulang, akhirnya Amara punya ruang untuk kembali fokus pada bayinya. Dia butuh banyak istirahat setelah bergadang tiap malam, meskipun Amara ragu apakah pikirannya bisa tenang setelah menangkap basah sikap Levi yang mencurigakan. Andai mertuanya tidak datang hari ini, mungkin Amara takkan pernah tahu. 

Pukul lima sore, terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Amara lega menyadari kedatangan Levi. Dia masih di sisi Obeida seraya menepuk-nepuk bayi itu pelan agar tidak terganggu oleh bunyi-bunyian yang dibuat oleh suaminya saat membuka pintu serta langkah riang Ursa memasuki rumah. Amara tersenyum saat wajah mungil bocah itu muncul di depan kamar. Amara mengucapkan salam penuh cinta pada sang putra. Kemudian, muncullah wajah kemerahan terbakar tapi bahagia milik Levi. Hati Amara justru dipenuhi tanda tanya karena Levi tampak jauh lebih baik setelah setengah hari menjaga jarak darinya. 

“Ibu tadi datang ke sini. Cari kamu.” Amara penasaran ingin melihat langsung bagaimana reaksi Levi mendengar kabar tersebut, tetapi dugaannya salah besar. Levi kelihatan tidak terkejut, bahkan abai pada kekacauan yang ditimbulkan olehnya. 

“Ibu lama menunggu kamu tadi.” Amara merasa perlu menegaskan dengan keras. Luar biasa, Levi cuma bergumam sesaat, lalu bersikap tak acuh. Amara merasa tidak mengenali suaminya. Levi yang dulu biasa menomorsatukan ibunya, bahkan mengabaikan perasaan Amara demi menuruti kata-kata perempuan itu. Namun, Levi yang dia lihat sekarang berlaku dingin. Jika sikap sang suami terhadap ibunya saja begitu, tidak heran kalau Levi bahkan tidak berminat menanyakan kabar Obeida, apalagi Amara yang ditinggalkan di rumah sepanjang hari. Levi sudah jauh berubah, nyaris seperti Levi yang pernah menganggapnya semu di masa lalu.  

Merasa tidak akan memperoleh penjelasan apa-apa dari suaminya, Amara pun mendekati sang putra. Dia melakukannya setelah Levi beranjak ke kamar belakang agar lebih leluasa. “Ursa tadi ngapain aja seharian?” tanya Amara pada Ursa yang rebahan dekat Obeida. 

Ursa menjawab asal dengan tatapan menerawang. Bocah itu tampaknya mulai terlena akibat rasa kantuk. Keceriaannya telah berganti dengan keheningan. “Main di pantai.”

“Terus?”

Lihat selengkapnya