Dorongan yang menggerakkan Amara untuk mulai mencari tahu segala detail tentang Chika kemudian adalah nalurinya sebagai seorang ibu. Kemarahan menguasai hatinya karena Levi telah melibatkan Ursa dalam skenario masuknya Chika ke kehidupan mereka. Levi telah merusak hubungan sakral antara Amara dan Ursa, entah sengaja atau lantaran kebodohan suaminya. Amara segera bertindak meluruskan tatanan yang bengkok tersebut dan menggagalkan rencana keduanya yang bermaksud mencuci otak Ursa.
“Mama Ursa cuma satu, yaitu Mama. Ursa enggak boleh panggil orang lain mama, ya?” Amara rela mengorbankan segalanya untuk mengajarkan kebenaran tersebut pada Ursa. Amara tidak rela jika aturan mendasar seperti itu diinjak-injak oleh suaminya sekalipun.
“Jadi, Ursa enggak boleh panggil Mama Chika lagi?” tanya Ursa bingung.
“Iya, Sayang. Mama Ursa masih ada, ‘kan? Mama yang melahirkan Ursa. Mama juga yang mengasuh Ursa sejak kecil. Dulu, Ursa keluar dari perut Mama seperti Obeida. Ursa juga seperti Adik, menyusu sama Mama. Tante Chika bukan mamanya Ursa. Tante Chika sebelumnya enggak ada, ‘kan?”
Ursa mengangguk paham, lalu tertunduk. “Iya.”
Hati Amara tersayat ketika menangkap gelombang kesedihan dalam sorot mata putranya. Apakah Ursa sudah mampu merasakan pedihnya dikhianati oleh hal yang dia percayai selama ini? Bagaimanapun, kebenaran akan terasa menyakitkan saat diketahui. Hati ibu mana yang tega menyeret serta putranya dalam permasalahan rumah tangga mereka? Pertikaian orang tua akan selalu berdampak pada anak-anak mereka. Bahkan, bayi sekecil Obeida juga menerima akibatnya. Dalam dua bulan kehidupannya, Obeida telah mengalami penolakan sang ayah. Amara kini menyadari kenapa Levi jarang memberikan perhatian untuk si bungsu. Karena Levi lebih menjaga perasaan teman wanitanya. Amara baru tahu fakta menyakitkan itu setelah diam-diam membuka isi obrolan pribadi Levi dan Chika. Dari percakapan-percakapan tersebut, Amara pun tahu bahwa di mata sang suami, dia beserta kedua putranya adalah orang asing di luar lingkaran hubungan gelap Levi.
Chika, Amara kayaknya mau lahiran. Aku minta restu, ya?
Siapa Chika hingga Levi harus mengemis-ngemis pemakluman untuk menemani Amara melahirkan putra kedua mereka? Andai Levi bukan ayah dari anak-anaknya, Amara tentu tidak akan berpikir ulang untuk mengambil tindakan yang seharusnya dia lakukan bertahun-tahun lalu. Sempat terbit sesal dalam hatinya karena tampaknya dia telah menanam harapan kosong di ladang yang salah. Levi tidak pernah berubah. Levi tidak lagi menjadi belahan jiwa dan hanya menganggap semu status pernikahan mereka. Begitu mudahnya lelaki itu memindahkan kepercayaan yang Amara serahkan padanya kepada orang asing, yang bahkan Amara yakin tidak tahu-menahu tentang jati diri Levi. Amara jauh lebih mengenal suaminya, sama seperti ibunya dulu mengenal ibunya Levi. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kini, Amara paham kenapa ibunya bisa kecewa terhadap sang mertua. Ibunya pasti tidak bisa memaafkan sikap mertuanya yang bermuka dua. Padahal, kurang apa lagi selama ini mereka menjadi teman setia?
Amara terkesiap dari lamunan ketika Ursa menghambur memeluknya. Tanpa sadar, air mata jatuh di pipi sang ibu dan Ursa pasti melihatnya. Amara balas merengkuh bocah itu. Alangkah kejamnya, sempat tadi terlintas dalam pikiran Amara andai Ursa dan Obeida tidak pernah ada dalam kehidupannya dan dia jadi tidak punya alasan untuk tetap bertahan di sisi Levi. Namun, mereka berdualah kini alasan Amara hidup. Bukan kehidupan yang sempurna, tapi Amara takkan sanggup membayangkan hidupnya tanpa keberadaan sang putra.
<->