“Aku enggak tahu, ya, apa masalah kamu sebetulnya, tapi kamu enggak boleh begitu ke Obeida!”
Arsilla memandang kasihan pada bayi di pelukan Amara sebelum tatapannya teralih pada kemudi. Akhirnya, Amara membawa Obeida bersamanya. Dia juga berhasil merebut Ursa. Amara tidak mungkin meninggalkan Ursa bersama Levi, sementara dia tidak memercayai lelaki itu. Suaminya pasti akan menelantarkan Ursa seperti biasa di tempat Chika, alih-alih merawat sang putra sendiri. Levi saja belum lurus pikirannya sehingga bingung untuk memilih antara mempertahankan selingkuhan atau keluarganya. Kini, Amara justru merasa lega berada jauh dari suaminya karena mereka pasti akan menyakiti satu sama lain jika tidak ada yang mengalah pergi.
Amara menolak ke rumah ibunya, dia menyuruh Arsilla langsung mengantar mereka ke rumah petak yang biasa mereka tempati saja. Namun, Arsilla bersikeras mengajak Amara dan kedua putranya menemui sang nenek lebih dulu. “Biar Ibu tenang dan aku enggak dikejar-kejar terus sama Ibu,” jelas Arsilla jengkel karena Amara seolah tidak mengenal ibu mereka. Sebelas dua belas dengan dirinya, Ibu adalah tipe perempuan yang sulit diyakinkan. Namun, Ibu tidak mau terlibat langsung dengan pertikaian rumah tangga anak-anaknya, sehingga Arsilla yang diutus untuk menjemput Amara kemudian.
“Aku enggak mau Bibi tahu masalahku, Sil,” tutur Amara cemas.
“Mau gimana lagi? Bibi tinggal sama Ibu. Cepat atau lambat, Bibi pasti tahu juga.”
Amara mengesah. Alasan sebenarnya adalah dia tidak mau bertemu saudari ibunya dalam kondisi hancur. Bibinya adalah orang yang paling menentang pernikahannya dengan Levi dulu. Perempuan itu menganggap Levi beserta seluruh keluarganya akan mengancam kehidupan keluarga mereka. Apalagi setelah ketakutan sang bibi terbukti benar, Amara merasa lebih tidak punya nyali untuk mengakui kesalahan yang dia perbuat karena telah menentang keinginan mereka untuk menjauhi Levi.
“Ibu dan Bibi pasti akan menyalahkan aku.”
“Bukan itu yang mestinya kamu khawatirkan sekarang, Kak, tapi anak-anakmu. Kamu yakin sanggup mengurus Ursa dan Obeida dalam kondisi sekarang?”
“Aku selalu mengurus mereka sendirian, kok.”
“Maksud aku, kamu ‘kan enggak kerja?”
“Harus banget kita bahas masalah ini sekarang di depan Ursa?” protes Amara. Dia tidak ingin Ursa mendengar hal-hal yang belum pantas untuk anak seusianya. Menghadapi perpisahan mendadak ayah dan ibunya saja pasti sudah berat. Dalam kondisi bagaimanapun, Amara harus terlihat tegar di depan sang putra, dan pembicaraan ini malahan membuat dirinya rapuh.
“Baiklah, kita bahas itu lain kali. Tapi …,” Arsilla berbisik pada sang kakak seraya melirik Ursa yang duduk di belakang, “Ursa betulan diajak ayahnya ketemu cewek itu?”
Amara mengangguk singkat sebagai jawaban. Arsilla pun berdecak jengkel, “Keterlaluan! Kasihan sekali Ursa sampai terkontaminasi cewek plastik itu.” Amara sampai menoleh mendengar ungkapan yang Arsilla gunakan saat menyebut Chika. Dia baru sadar bahwa bukan dirinya saja yang merasa dikhianati, tetapi juga keluarganya. Perbuatan egois Levi telah meruntuhkan kepercayaan orang-orang di sekitar Amara.
Dering telepon beruntun menuntut perhatian adiknya. Amara yang masih berapi-api untuk menumpahkan unek-unek di hatinya, terpaksa menunda dulu untuk memberi Arsilla ruang. Perasaan Amara mendadak tidak nyaman ketika wajah bundar yang dibingkai hijab modis di sampingnya itu menjadi pucat. Arsilla menutup telepon seakan tidak percaya, lantas berucap terbata. “Kak, Bibi muntah dan kejang-kejang. Ibu sama Adisty sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.”
Amara takkalah terkejut mendengar kabar itu. Apalagi ketika Arsilla bertanya, “Kita langsung ke sana?” Oh, Amara tidak siap menghadapi peristiwa tak terduga seperti ini. Dia tatap wajah Obeida dengan cemas.
“Sebaiknya, aku menunggu di rumah saja, Sil. Aku enggak boleh bawa Obeida ke rumah sakit, apalagi dalam kondisi new normal begini.”
“Kita enggak bisa mikir itu sekarang, Kak!” seru Arsilla kesal. “Kalau kamu enggak mau ikut, tunggu saja di mobil. Aku akan langsung ke sana,” putus Arsilla buru-buru.
“Kamu kenapa, sih, Sil?” Amara pun marah karena adiknya tidak mempertimbangkan keberatannya sama sekali. “Rentan sekali bawa Obeida ke rumah sakit sekarang! Aku tahu sedang menumpang mobil kamu, tapi apa kamu enggak memikirkan keadaan anakku sedikit saja?”
“Jangan meminta aku berpikir logis saat ini, Kak!” Arsilla menatap Amara tajam. “Asal kamu tahu, Bibi sudah bolak-balik ke dokter bulan ini. Ibu enggak pernah cerita sama kamu, ‘kan?”
Amara tidak terkejut, bibinya memang menderita tekanan darah tinggi sudah lama dan sering mengeluh pusing jika lelah dan ada tekanan. Namun, tampaknya kali ini penyakit sang bibi sudah memuncak. Terus terang, dia pun khawatir jika saudari ibunya mengalami strok.
“Kak, tadi Ibu bilang, waktu dalam keadaan setengah sadar, Bibi mau ketemu kamu.”