Untuk sementara, masa pemulihan sang bibi mengalihkan perhatian keluarga mereka. Namun, ketika perempuan itu kembali ke rumah dan Amara kini bisa bertemu ibunya dalam kondisi lebih tenang, dia segera dihadapkan pada masalah sesungguhnya. Sang nenek menatap kedua cucu lelaki tersebut dengan khawatir, terutama Obeida yang tertidur dalam dekapan Amara. Sejak berdebat dengan Arsilla tempo hari, niat Amara untuk melepaskan bayi itu kini dalam dilema, kendati sebelumnya dia ingin meninggalkan Obeida bersama Levi. Tekad Amara ternyata tidak sekuat itu. Naluri keibuannya masih terketuk.
Amara merasa lega ketika bibinya tengah beristirahat di kamar saat mereka datang. Kata mereka, kondisi Bibi pascaoperasi mulai membaik. Namun, ekspresi ibu dan kedua adiknya tidak menyiratkan demikian, justru tampak tertekan. Amara pun tahu, dialah penyebabnya. Amara langsung diseret dalam pengadilan keluarga yang dipimpin oleh ibu mereka. Sementara itu, Ursa disuruh bermain bersama Opal dan Berlian, putra-putri kembar Arsilla yang sebaya dengannya.
“Kenapa kamu sampai hati ingin meninggalkan Obeida, Mar? Kalau kamu enggak sanggup merawat mereka berdua, serahkan saja Ursa sama ayahnya. Ursa sudah besar.”
Amara memasang wajah kecut. Masih saja sang ibunda mempertahankan pendirian tersebut. Dia pun terprovokasi.
“Ursa sudah kujaga baik-baik sejak bayi. Aku enggak rela anakku diserahkan sama orang lain, Bu. Lebih baik Obeida saja. Dia masih kecil dan belum terlalu lengket sama aku.”
Jawaban Amara membuat perempuan akhir 60 itu terperangah lantas naik pitam. “Justru karena Obeida masih kecil, kamu wajib menyusui dan merawat dia, Amara! Kamu tidak takut pada peringatan Allah?”
Amara tertunduk, dia memahami maksud ibunya. Amara pun berjuang keras untuk menyusui Ursa dahulu. Namun, kasus Obeida kali ini berbeda. Levi bahkan tidak terlalu antusias menyambut kelahirannya, bahkan cenderung menolak. Amara menatap Obeida sedih karena bayi laki-laki malang itu terlahir di waktu yang tidak diharapkan oleh kedua orang tuanya.
“Bu,” suara Amara memelan dan bergetar lantaran sebuah pikiran menggelisahkan singgah di benaknya, “bagaimana jika Obeida kuserahkan saja pada keluarga yang menginginkan anak? Mereka bisa menjaga dan merawat Obeida lebih baik dari aku.”
“Jangan bicara aneh-aneh, Kak!” Arsilla menyanggah ide Amara dengan raut wajah siap meledak. “Aku saja yang rawat Obeida!”
“Kamu saja sering menitipkan si kembar sama Ibu, mana mungkin kamu sanggup menambah satu anak lagi di rumahmu. Masih bayi, pula.” Ibu mementahkan niat Arsilla, meskipun niat si bungsu terdengar lebih baik daripada rencana putus asa Amara. Ibu, Arsilla, dan Adisty lantas menghujani Amara dengan tatapan prihatin. Seolah Amara bukan seseorang yang mereka kenal lagi. Perempuan itu nyaris jatuh dalam depresi hingga tidak mampu berpikir lurus. Amara yang biasa terlihat tangguh itu lenyap. Ujian kali ini berada di luar daya tahannya.
“Kak, menurut aku, Levi itu sudah semena-mena sama kamu. Dia merasa lebih tinggi karena kamu sekarang enggak bekerja lagi. Andai kamu punya penghasilan sendiri, kamu bisa menjaga keluargamu sendiri.”
Pendapat itu keluar dari mulut Adisty dan Arsilla turut membenarkannya. Amara tidak heran karena kedua adiknya adalah tipe perempuan karier yang pantang menadahkan tangan pada suami. Mereka memang lebih berambisi daripada dirinya. Selain itu, Adisty dan Arsilla tidak segan-segan melimpahkan tanggung jawab pada keluarga yang siap membantu mengasuh anak-anak mereka, termasuk Ibu. Bukan rahasia lagi jika Ibu tidak bisa menolak permintaan Arsilla meski berat hati. Status Arsilla sebagai PNS di rumah sakit menjadikannya istimewa di mata Ibu.
Adisty mungkin tidak seberuntung Arsilla, tetapi punya kesepakatan tersendiri untuk berbagi tugas mengurus anak dan rumah dengan suaminya. Sementara, Amara tidak punya siapa-siapa. Baik Ibu dan mertuanya, tidak ada seorang pun yang bersedia membantunya mengurus Ursa dulu ketika dia diminta untuk kembali bekerja. Amara harus rela tinggal di rumah demi keluarganya. Namun, yang dia peroleh justru sebuah pengkhianatan.
“Levi ternyata begitu, ya? Seharusnya, dia melindungi kalian, tetapi dia malah memikirkan diri sendiri,” rutuk Adisty kecewa. “Kalau kamu menyerahkan Ursa atau Obeida sama dia, menurut aku juga enggak bakal menyelesaikan masalah. Mereka pasti akan disia-siakan. Lebih baik, kamu rawat saja mereka sendiri bagaimanapun kondisinya, Kak.”
“Iya. Jangan pernah lagi, ya, berpikir untuk memberikan Obeida sama orang lain!” Arsilla mengancam dengan serius. “Kamu harus mandiri, Kak.”